Senin, 22 April 2013

INFEKSI YANG MENYERTAI KEHAMILAN



INFEKSI YANG MENYERTAI KEHAMILAN
A.    RUBELLA
            Rubella atau campak Jerman adalah penyakit yang disebabkan suatu virus RNA dari golongan Togavirus. Penyakit ini relatif tidak berbahaya dengan morbiditas dan mortalitas yang rendah pada manusia normal. Tetapi jika infeksi didapat saat kehamilan, dapat menyebabkan gangguan pada pembentukan organ dan dapat mengakibatkan kecacatan. Virus penyebab rubela atau campak Jerman ini bekerja dengan aktif khususnya selama masa hamil. Akibat yang paling penting diingat adalah keguguran, lahir mati, kelainan pada janin, dan aborsi terapeutik, yang terjadi jika infeksi rubela ini muncul pada awal kehamilan, khususnya pada trimester pertama. Apabila seorang wanita terinfeksi rubela selama trimester pertama, ia memiliki kemungkinan kurang lebih 52% melahirkan bayi dengan sindrom rubela kongenital (CRS, Congenital Rubella Syndrome).
Angka tersebut akan meningkat menjadi 85%, jika ibu terinfeksi rubela pada usia kehamilan kurang dari 8 minggu. Kelainan CRS yang paling sering muncul adalah katarak, kelainan jantung, dan tuli. Kemungkinan lainnya adalah glaukoma, mikrosefalus, dan kelainan lain, termasuk kelainan pada mata, telinga, jantung, otak, dan sistem saraf pusat. Janin dengan CRS sering kali mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri dan pascanatal. Infeksi rubela yang terjadi pada usia kehamilan lebih dari 12 minggu jarang menyebabkan kelainan.
1.    TANDA DAN GEJALA
            Tanda-tanda dan gejala rubella, terutama pada anak-anak, sering begitu ringan sehingga sulit untuk dilihat. Jika tanda-tanda dan gejala yang terjadi, mereka biasanya muncul antara dua dan tiga minggu setelah terpapar virus. Rubella biasanya berlangsung sekitar dua sampai tiga hari dan gejalanya sebagai berikut:
1. Demam ringan dengan suhu 38,9 derajat Celcius atau lebih rendah Mengantuk
2. Sakit tenggorok
3. Ruam-berwarna merah terang atau pucat pada hari pertama atau kedua, menyebar dengan cepat dari wajah ke seluruh tubuh, dan menghilang dengan cepat pula.
4. Pembengkakan kelenjar leher.
5. Sakit kepala
6. Hidung tersumbat atau pilek.
7. Radang, mata merah

 2.        PENYEBAB
            Virus yang ditularkan melalui kontak udara maupun kontak badan. Virus ini bisa menyerang usia anak dan dewasa muda. Pada ibu hamil bisa mengakibatkan bayi lahir tuli. Penularan virus rubella adalah melalui udara dengan tempat masuk awal melalui nasofaring dan orofaring. Setelah masuk akan mengalami masa inkubasi antara 11 sampai 14 hari sampai timbulnya gejala. Hampir 60 % pasien akan timbul ruam. Penyebaran virus rubella pada hasil konsepsi terutama secara hematogen. Infeksi kongenital biasanya terdiri dari 2 bagian : viremia maternal dan viremia fetal. Viremia maternal terjadi saat replikasi virus dalam sel trofoblas. Kemudian tergantung kemampuan virus untuk masuk dalam barier bayi-bayi lain, disamping bagi orang dewasa yang rentan dan berhubungan dengan bayi tersebut.
3.     DIAGNOSA
            Diagnosis Ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul, dan dari pemeriksaan darah di laboratorium dengan melihat kadar antibodi IgG dan IgM-nya terhadap rubela. Diagnosa ditegakkan melalui pemeriksaan serologi. IgM akan cepat memberi respon setelah keluar ruam dan kemudian akan menurun dan hilang dalam waktu 4 – 8 minggu, IgG juga memberikan respon setelah keluar ruam dan tetap tinggi selama hidup.
Diagnosa ditegakkan dengan adanya peningkatan titer 4 kali lipat dari hemagglutination-inhibiting (HAI) antibody dari dua serum yang diperoleh dua kali selang waktu 2 minggu atau setelah adanya IgM. Diagnosa Rubella juga dapat ditegakkan melalui biakan dan isolasi virus pada fase akut. Ditemukannya IgM dalam darah talipusat atau IgG pada neonatus atau bayi 6 bulan mendukung diagnosa infeksi Rubella.


4.       RUBELLA PADA KEHAMILAN
    DEFINISI

            10 – 15% wanita dewasa rentan terhadap infeksi Rubella. Perjalanan penyakit tidak dipengaruhi oleh kehamilan dan ibu hamil dapat atau tidak memperlihatkan adanya gejala penyakit. Derajat penyakit terhadap ibu tidak berdampak terhadap resiko infeksi janin. Infeksi yang terjadi pada trimester I memberikan dampak besar terhadap janin. Infeksi Rubella berbahaya bila tejadi pada wanita hamil muda, karena dapat menyebabkan kelainan pada bayinya. Jika infeksi terjadi pada bulan pertama kehamilan maka risiko terjadinya kelainan adalah 50%, sedangkan jika infeksi tejadi trimester pertama maka risikonya menjadi 25% (menurut America College of Obstatrician and Gynecologists, 1981).
            Bila ibu hamil yang belum kebal terserang virus Rubella saat hamil kurang dari 4 bulan, akan terjadi berbagai cacat berat pada janin. Sebagian besar bayi akan mengalami katarak pada lensa mata, gangguan pendengaran, bocor jantung, bahkan kerusakan otak. Infeksi Rubella pada kehamilan dapaT menyebabkan keguguran, bayi lahir mati atau gangguan terhadap janin Susahnya, sebanyak 50% lebih ibu yang mengalami Rubella tidak merasa apa-apa. Sebagian lain mengalami demam, tulang ngilu, kelenjar belakang telinga membesar dan agak nyeri. Setelah 1-2 hari muncul bercak-bercak merah seluruh tubuh yang hilang dengan sendirinya setelah beberapa hari. Tidak semua janin akan tertular. Jika ibu hamil terinfeksi saat usia kehamilannya < 12 minggu maka risiko janin tertular 80-90 persen. Jika infeksi dialami ibu saat usia kehamilan 15-30 minggu, maka risiko janin terinfeksi turun yaitu 10-20 persen.
Namun, risiko janin tertular meningkat hingga 100 persen jika ibu terinfeksi saat usia kehamilan > 36 minggu. Untungnya, Sindrom Rubella Kongenital biasanya terjadi hanya bila ibu terinfeksi pada saat umur kehamilan masih kurang dari 4 bulan. Bila sudah lewat 5 bulan, jarang sekali terjadi infeksi. Di samping itu, bayi juga berisiko lebih besar untuk terkena diabetes melitus, gangguan tiroid, gangguan pencernaan dan gangguan syaraf.
    PENCEGAHAN
            Vaksinasi sejak kecil atau sebelum hamil. Untuk perlindungan terhadap serangan virus Rubella telah tersedia vaksin dalam bentuk vaksin kombinasi yang sekaligus digunakan untuk mencegah infeksi campak dan gondongan, dikenal sebagai vaksin MMR (Mumps, Measles, Rubella).Vaksin Rubella diberikan pada usia 15 bulan. Setelah itu harus mendapat ulangan pada umur 4-6 tahun. Bila belum mendapat ulangan pada umur 4-6 tahun, harus tetap diberikan umur 11-12 tahun, bahkan sampai remaja. Vaksin tidak dapat diberikan pada ibu yang sudah hamil.
Deteksi status kekebalan tubuh sebelum hamil. Sebelum hamil sebaiknya memeriksa kekebalan tubuh terhadap Rubella, seperti juga terhadap infeksi TORCH lainnya.
 Jika anti-Rubella IgG saja yang positif, berarti Anda pernah terinfeksi atau sudah divaksinasi terhadap Rubella. Anda tidak mungkin terkena Rubella lagi, dan janin 100% aman. Jika anti-Rubella IgM saja yang positif atau anti-Rubella IgM dan anti-Rubella IgG positif, berarti anda baru terinfeksi Rubella atau baru divaksinasi terhadap Rubella. Dokter akan menyarankan Anda untuk menunda kehamilan sampai IgM menjadi negatif, yaitu selama 3-6 bulan.
Jika anti-Rubella IgG dan anti-Rubella IgM negatif berarti anda tidak mempunyai kekebalan terhadap Rubella. Bila anda belum hamil, dokter akan memberikan vaksin Rubella dan menunda kehamilan selama 3-6 bulan. Bila anda tidak bisa mendapat vaksin, tidak mau menunda kehamilan atau sudah hamil, yang dapat dikerjakan adalah mencegah anda terkena Rubella. Bila sudah hamil padahal belum kebal, terpaksa berusaha menghindari tertular Rubella dengan cara berikut: Jangan mendekati orang sakit demam Jangan pergi ke tempat banyak anak berkumpul, misalnya Playgroup sekolah TK dan SD. Jangan pergi ke tempat penitipan anak Sayangnya, hal ini tidak dapat 100% dilaksanakan karena situasi atau karena orang lain yang terjangkit Rubella belum tentu menunjukkan gejala demam. Kekebalan terhadap Rubella diperiksa ulang lagi umur 17-20 minggu. Bila ibu hamil mengalami Rubella, periksalah darah apa benar terkena Rubella. Bila ibu sedang hamil mengalami demam disertai bintik-bintik merah, pastikan apakah benar Rubella dengan memeriksa IgG danIgM Rubella setelah 1 minggu. Bila IgM positif, berarti benar infeksi Rubella baru. Bila ibu hamil mengalami Rubella, pastikan apakah janin tertular atau tidak Untuk memastikan apakah janin terinfeksi atau tidak maka dilakukan pendeteksian virus Rubella dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Bahan pemeriksaan diambil dari air ketuban (cairan amnion). Pengambilan sampel air ketuban harus dilakukan oleh dokter ahli kandungan & kebidanan, dan baru dapat dilakukan setelah usia kehamilan lebih dari 22 minggu.

    PEMERIKSAAN
            Pemeriksaan rubella harus dikerjakan pada semua pasien hamil dengan mengukur IgG . Mereka yang non-imune harus memperoleh vaksinasi pada masa pasca persalinan. Tindak lanjut pemeriksaan kadar rubella harus dilakukan oleh karena 20% yang memperoleh vaksinasi ternyata tidak memperlihatkan adanya respon pembentukan antibodi dengan baik. Infeksi rubella tidak merupakan kontra indikasi pemberian ASI
            Tidak ada terapi khusus terhadap infeksi Rubella dan pemberian profilaksis dengan gamma globulin pasca paparan tidak dianjurkan oleh karena tidak memberi perlindungan terhadap janin.Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan Anti-Rubella IgG dana IgM. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kekebalan pada saat sebelum hamil. Jika ternyata belum memiliki kekebalan, dianjurkan untuk divaksinasi. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dan IgM terutama sangat berguna untuk diagnosis infeksi akut pada kehamilan < 18 minggu dan risiko infeksi rubella bawaan.
    TERAPI ANTIVIRUS
1. Acyclovir adalah anti virus yang digunakan secara luas dalam kehamilan
2. Acyclovir diperlukan untuk terapi infkesi primer herpes simplek atau virus varicella zoster yang terjadi pada ibu hamil
3. Selama kehamilan dosis pengobatan tidak perlu disesuaikan
4. Obat antivirus lain yang masih belum diketahui keamanannya selama kehamilan : Amantadine dan Ribavirin





B.     HEPATITIS

DEFENISI

Hepatitis atau radang hati, satu jenis penyakit hati yang paling sering dijumpai di antara penyakit – panyakit lain yang menyerang hati. Penyakit ini terutama disebabkan oleh virus dan ditandai oleh perubahan warna kulit dan bagian putih mata (sclera) menjadi kekuningan. Warna kuning tersebut timbul karena adanya pengendapan pigmen bilirubin, yang bersal dari cairan empedu. Warna air kencing penderita pun menjadi kuning atau bahkan kecoklatan seperti air teh. (Ensiklopedi)
Hepatitis B kronik adalah suatu penyakit infeksi ditandai oleh peradangan hati berlanjut, lebih lama dari masa penyembuhan infeksi hepatitis akut, yaitu lebih dari 6 bulan.
Infeksi VHB pada masa anak – anak mempunyai resiko menjadi kronis, terutama pada anak yang mendapat infeksi perinatal. Data yang menunjukkan bahwa bayi yang terinfeksi VHB sebelum usia 1 tahun mempumyai resiko kronisitas sampai 90 %, sedangkan bila infeksi VHB terjadi pada usia antara 2 – 5 tahun resikonya menjadi 50 %, bahkan bila terjadi infeksi pada anak usia di atas 5 tahun, hanya beresiko 5 – 10 tahun untuk terjadinya kronisitas.
Istilah “hepatitis” dipakai untuk semua jenis peradangan pada hati (liver). Penyebabnya berbagai macam, mulai dari virus sampai dengan obat - obatan. Virus hepatitis juga ada beberapa jenis, hepatitis A, hepatitis B, C, D, E, F dan G. Manifestasi penyakit hepatitis akibat virus bisa akut (hepatitis A), bisa kronik (hepatitis B dan C) dan bisa juga kemudian menjadi kanker hati (hepatitis B dan C).
Pada wanita hamil kemungkinan untuk terjangkit hepatitis virus adalah sama dengan wanita tidak hamil pada umur yang sama. Kelainan hepar yang mempunyai hubungan langsung dengan peristiwa kehamilan, ialah : Acute fatty liver of pregnancy (Obstetric acute yellow-atrophy). Infeksi hepatitis virus pada kehamilan tidak berhubungan langsung dengan peristiwa kehamilan, namun tetap memerlukan penanganan khusus, mengingat penyulit-penyulit yang mungkin timbul baik untuk ibu maupun janin. Hepatitis virus sering menimbulakan jaundice pada kehamilan, dengan kemajuan pengobatan saat ini, asam ursodeoxychalic dapat mengurangi kerusakan hati, baik akut maupun kronik.

           
.     ETIOLOGI

Penyebab hepatitis bermacam-macam. Pada prinsipnya penyebab hepatitis terbagi atas infeksi dan bukan infeksi.

Penyebab-penyebab tersebut antara lain :
1.      Infeksi virus ; hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, Hepatitis E, Hepatitis F,hepatitis G.
2.      Non virus ; Komplikasi dari penyakit lain, Alkohol, Obat-obatan kimia atau zat kimia, Penyakit autoimun.

Nama-nama virus penyebab hepatitis yang saat ini telah dikenali adalah:
v  virus hepatitis A atau VHA
v  virus hepatitis B atau VHB
v  virus hepatitis C atau VHC,
v  virus hepatitis D atau VHD,
v  virus hepatitis E atau VHE,
v  virus hepatitis F atau VHF
v  virus hepatitis G atau VHG.

Sedangkan penyakit hepatitis yang ditimbulkannya disebut sesuai dengan nama virusnya. Di antara ketujuh jenis hepatitis tersebut, hepatitis A, B dan C merupakan jenis hepatitis terbanyak yang sering dijumpai. Sedangkan kasus hepatitis F masih jarang ditemukan. Para ahli pun masih memperdebatkan apakah hepatitis F merupakan jenis hepatitis tersendiri atau tidak.
Ikterus merupakan salah satu gajala klinis pada wanita hamil denga hepatitis, namun adapun ikterus dalam kehamilan sebenarnya disebabkan oleh beberapa keadaan. Ikterus yang disebabkan oleh kehamilan berupa ; perlemakan hati akut, toksemia, dan kolestasis intrhepatik. Sedangkan ikterus yang tejadi bersamaan dengan suatu kehamilan; hepatitis virus, batu empedu, penggunaan obat-obatan hepatotoksik, dan sirosis hepatis. Ikterus dapat timbul pada satu dari 1500  kehamilan, 41% diantaranya adalah hepatitis virus,21% oleh karna kolestatis intahepatik, dan kurang dari 6% oleh karna obtruksi saluran empedu di luar hati.

   GEJALA KLINIK
   
Penyakit hati bisanya jarang terjadi pada wanita hami, namun apabila timbul ikterus pada kehamiln, maka penyebabnya yang paling tering adalah hepatitis virus. Penyakit hepatitis biasanya memberikan keluhan mual, muntah, anoreksia, demam ringan, mata kunng. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai ikterus dan hepatomegali, sedangkan splenomegali hanya ditemukan pada 20-25% penderita.
Gejala dan tanda penyakit hepatitis-B adalah sebagai berikut  :
1.      Selera makan hilang
2.      Rasa tidak enak di perut
3.      Mual sampai muntah
4.      Demam tidak tinggi Kadang-kadang disertai nyeri sendi
5.      Nyeri dan bengkak pada perut sisi kanan atas (lokasi hati)
6.      Bagian putih pada mata (sklera) tampak kuning
7.      Kulit seluruh tubuh tampak kuning
8.      Air seni berwarna coklat seperti air teh

    PENGARUH HEPATITIS VIRUS PADA KEHAMILAN DAN JANIN
Bila hepatitis virus terjadi pada trimester I atau permulaan trimeseter II maka gejala-gejala nya akan sama dengan gejalahepatitis virus pada wanita tidak hamil. Meskipun gejala-gejala yang timbul relatip lebih ringan dibanding dengan gejala-gejala yang timbul pada trimester III, namun penderita hendaknya tetap dirawat di rumah sakit.
Hepatitis virus yang terjadi pada trimester III, akan menimbulkan gejala-gejala yang lebih berat dan penderita umumnya me-nunjukkan gejala-gejala fulminant. Pada fase inilah acute hepatic necrosis sering terjadi, dengan menimbulkan mortalitasIbu yang sangat tinggi, dibandingkan dengan penderita tidakhamil. Pada trimester III, adanya defisiensi faktor lipo tropikdisertai kebutuhan janin yang meningkat akan nutrisi, menye-babkan penderita mudah jatuh dalam acute hepatic necrosisTampaknya keadaan gizi ibu hamil sangat menentukan prognose.
Penyelidik lain juga menyimpulkan, bahwa berat ringan gejala hepatitis virus pada kehamilan sangat tergantung darikeadaan gizi Ibu hamil. Gizi buruk khususnya defisiensi protein, ditambah pula me-ningkatnya kebutuhan protein untuk pertumbuhan janin,menyebabkan infeksi hepatitis virus pada kehamilan memberi gejala-gejala yang jauh lebih berat.Pengaruh kehamilan terhadap berat ringannya hepatitis virus,telah diselidiki oleh ADAM, yaitu dengan cara mencari hubungan antara perubahan-perubahan koagulasi pada kehamilan dengan beratnya gejala-gejala hepatitis virus. Diketahuibahwa pada wanita hamil, secara fisiologik terjadi perubahan-perubahan dalam proses pembekuan darah, yaitu dengan ke-naikan faktor-faktor pembekuan dan penurunan aktivitasfibrinolitik, sehingga pada kehamilan mudah terjadi DIC(Disseminated Intra Vascular Coagulation). Dalam penelitianini terbukti bahwa DIC tidak berperan dalam meningkatkanberatnya hepatitis virus pada kehamilan.Tetapi sebaliknya, bila sudah terjadi gejala-gejala hepatitisvirus yang fulminant, barulah DIC mempunyai arti.Hepatitis virus pada kehamilan dapat ditularkan kepada ja-nin, baik in utero maupun segera setelah lahir. Penularan virusini pada janin, dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu :
1.      Melewati placenta
2.       Kontaminasi dengan darah dan tinja Ibu pada waktu persalinan
3.       Kontak langsung bayi baru lahir dengan Ibunya
4.       Melewati Air Susu Ibu, pada masa laktasi.
Baik virus A maupun virus B dapat menembus placenta, sehingga terjadi hepatitis virus in utero dengan akibat janin lahir mati, atau janin mati pada periode neonatal. Jenis virus yang lebih banyak dilaporkan dapat menembusplacenta, ialah virus type B. Beberapa bukti, bahwa virus hepatitis dapat menembus placenta, ialah ditemukannya hepatitis antigen dalam tubuh janin in utero atau pada janin barulahir. Selain itu telah dilakukan pula autopsy pada janin-janin yang mati pada periode neonatal akibat infeksi hepatitisvirus. Hasil autopsy menunjukkan adanya perubahan-perubahan pada hepar, mulai dari nekrosis sel-sel hepar sampai suatubentuk cirrhosis. Perubahan-perubahan yang lanjut pada heparini, hanya mungkin terjadi bila infeksi sudah mulai terjadi sejak janin dalam rahim. Kelainan yang ditemukan pada hepar janin, lebih banyak terpusat pada lobus kiri. Hal ini membuktikan, bahwa penyebaran virus hepatitis dari Ibu ke janin dapat terjadi secarahematogen.Angka kejadian penularan virus hepatitis dari Ibu ke janinatau bayinya, tergantung dari tenggang waktu antara timbulnya infeksi pada Ibu dengan saat persalinan. Angka tertinggididapatkan, bila infeksi hepatitis virus terjadi pada kehamilantrimester III. Meskipun pada Ibu-Ibu yang mengalami hepatitis virus padawaktu hamil, tidak memberi gejala-gejala icterus pada bayi-nya yang baru lahir, namun hal ini tidak berarti bahwa bayi yang baru lahir tidak mengandung virus tersebut.Ibu hamil yang menderita hepatitis virus B dengan gejala-gejala klinik yang jelas, akan menimbulkan penularan pada janinnya jauh lebih besar dibandingkan dengan Ibu-Ibu hamil yanghanya merupakan carrier tanpa gejala klinik.
Dilaporkan, bahwa Ibu hamil yang mengalami hepatitis virus B, dengan gejala yang jelas, 48% dari bayinya terjangkit hepatitis, sedang pada Ibu-lbu hamil yang hanya sebagai carrier Hepatitis Virus B antigen, hanya 5% dari bayinya mengalami virus B antigenemia. Meskipun hepatitis virus, belum jelas pengaruh nya terhadap kelangsungan kehamilan, namun dilaporkan bahwa kelahiran prematur terjadi pada 66% kehamilan yang disertai hepatitisvirus B. Adanya icterus pada Ibu hamil tidak akan menimbulkan kerena icterus pada janin. Icterus terjadi akibat adanya unconjugated bilirubin yang melewati placenta dari Ibu-Ibu hamil yang mengalami hemolitik jaundice. Bila penularan hepatitis virus pada janin terjadi pada waktu persalinan maka gejala-gejalanya baru akan nampak dua sampai tiga bulan kemudian. Sampai sekarang belum dapat dibuktikan, bahwa hepatitisvirus pada Ibu hamil dapat menimbulkan kelainan congenital pada janinnya. Pada pemeriksaan placenta, dari kehamilan yang disertai hepatitis virus, tidak dijumpai perubahan-perubahan yang menyolok, hanya ditemukan bercak-bercak bilirubin. Bila terjadi penularan virus B in utero, maka keadaan ini tidak memberikan kekebalan pada janin dengan kehamilan berikutnya.

     PENCEGAHAN
Semua Ibu hamil yang mengalami kontak langsung dengan penderita hepatitis virus A hendaknya diberi immuno globulinsejumlah 0,1 cc/kg. berat badan. Gamma globulin ternyatatidak efektif untuk mencegah hepatitis virus B. Gizi Ibu hamil hendaknya dipertahankan seoptimal mungkin, karena gizi yang buruk mempermudah penularan hepatitis virus. Untuk kehamilan berikutnya hendaknya diberi jarak sekurang-kurangnya enam bulan setelah persalinan, dengan syarat setelah 6 bulan tersebut semua gejala dan pemeriksaan laborato-rium telah kembali normal. Setelah persalinan, pada penderita hendaknya tetap dilakukan pemeriksaan laboratorium dalam waktu dua bulan, empat bulan dan enam bulan kemudian.

PENGOBATAN

Pengobatan infeksi hepatitis virus pada kehamilan tidak berbeda dengan wanita tidak hamil. Penderita harus tirah baring di rumah sakit sampai gejala icterus hilang dan bilirubin dalam serum menjadi normal. Makanan diberikan dengan sedikit mengandung lemak tetapitinggi protein dan karbohydrat.Pemakaian obat-obatan hepatotoxic hendaknya dihindari.Kortison baru diberikan bila terjadi penyulit. Perlu diingatpada hepatitis virus yang aktip dan cukup berat, mempunyai risiko untuk terjadi perdarahan post-partum, karena menurun-nya kadar vitamin K. Janin baru lahir hendaknya tetap diikuti sampai periode post natal dengan dilakukan pemeriksaantransaminase serum dan pemeriksaan hepatitis virus antigensecara periodik. Janin baru lahir tidak perlu diberi pengobatankhusus bila tidak mengalami penyulit-penyulit lain.
Tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit hepatitis virus, yang perlu dilakukan ialah pada ibu hamil yang HBsAg positif bayinya perlu dilindungi dengan segera sesudah lahir sedapat mungkin dalam waktu dua jam bayi diberi suntikan HBSIG dan langsung divaksinasi dengan vaksin hepatitis B .  Pemberian HBIG hanya pada ibu yang selain HBsAg pasitif, HBe nya juga positif. Vaksin ini diulangi lagi sampai 3 kali dengan interval satu bulan atau sesuai dengan skema vaksin yang digunakan. Selain itu pada kasus seperti ini para dokter dan tenaga medis harus diberi vaksin juga. Pengelolaan secara konservatif adalah terapi pilihan untuk penderita hepatitis virus dalam kehamilan.  Prinsipnya ialah suportif dan pemantauan gejala penyakit.

Pada awal periode simptomatik dianjurkan :
1.      Tirah baring
pada periode akut dan keadaan lemah diharuskan cukup istirahat. Istirahat mutlak tidak terbukti dapat mempercepat penyembuhan. Kecuali pada mereka dengan umur tua dan keadaan umum yang buruk
2.      Diet
Tidak ada larangan spesifik terhadap makanan tertentu bagi penderita penyakit hepatitis. Sebaiknya semua makanan yang dikonsumsi pasien mengandung cukup kalori dan protein. Satu-satunya yang dilarang adalah makanan maupun minuman beralkohol. jika pasien mual, tidak nafsu makan atau muntah – muntah, sebaiknya diberikan infus. Jika sudah tidak mual lagi, diberikan makanan yang cukup kalori (30 – 35 kalori / kg BB) dengan protein cukup (1 g / kg BB). Pemberian lemak seharusnya tidak perlu dibatasi. Dulu ada kecenderungan untuk membatasi lemak, karena disamakan dengna kandung empedu.
3. Medikamentosa :
a.       Interferon adalah protein alami yang disintesis oleh sel-sel sistem imun tubuh sebagai respon terhadap adanya virus, bakteri, parasit, atau sel kanker.
Ada tiga jenis interferon yang memiliki efek antivirus yaitu :
·         interferon alfa,
·         interferon beta
·         interferon gamma.
Efek antivirus yang paling baik diberikan oleh interferon alfa. Interferon alfa bekerja hampir pada setiap tahapan replikasi virus dalam sel inang. Interferon alfa digunakan untuk melawan virus hepatitis B dan virus hepatitis C. Interferon diberikan melalui suntikan. Efek samping interferon timbul beberapa jam setelah injeksi diberikan.
Efek samping dari pemberian interferon diantaranya adalah :
·         rasa seperti gejala flu
·         demam
·         mengigil
·         nyeri kepala
·         nyeri otot dan sendi.
Setelah beberapa jam, gejala dari efek samping tersebut mereda dan hilang. Efek samping jangka panjang yang dapat timbul adalah gangguan pembentukan sel darah yaitu menurunnya jumlah sel granulosit (granulositopenia) dan menurunnya jumlah trombosit (trombositopenia), mengantuk bahkan rasa bingung.
b.      Lamivudin : Lamivudin adalah antivirus jenis nukleotida yang menghambat enzim reverse transcriptase yang dibutuhkan dalam pembentukan DNA. Lamivudin diberikan pada penderita hepatitis B kronis dengan replikasi virus aktif dan peradangan hati. Pemberian lamivudin dapat meredakan peradangan hati, menormalkan kadar enzim ALT dan mengurangi jumlah virus hepatitis B pada penderita.
Terapi lamivudin untuk jangka panjang menunjukkan menurunnya resiko fibrosis, sirosis dan kanker hati. Namun lamivudin memiliki kelemahan yang cukup vital yaitu dapat menimbulkan resistensi virus.
Efek samping yang mungkin muncul dari pemberian lamivudin antara lain:
·         rasa lemah
·         mudah lelah
·         gangguan saluran pencernaan
·         mual, muntah
·         nyeri otot
·         nyeri sendi
·         sakit kepala
·         demam, serta kemerahan.
 Efek samping yang berbahya lainnya adalah radang pankreas, meningkatnya kadar asam laktat, dan pembesaran hati. Namun umumnya efek samping tersebut dapat ditolerir oleh pasien. Terapi lamivudin ini tidak boleh diberikan pada ibu hamil..
c.       Adepovir dipivoksil : Adepovir dipivoksil berfungsi sebagai penghenti proses penggandaan untai DNA (DNA chain terminator), meningkatkan jumlah sel yang berperan dalam sistem imun (sel NK) dan merangsang produksi interferon dalam tubuh. Kelebihan adepovir dipivoksil dibandingkan dengan lamivudin adalah jarang menimbulkan resistensi virus.
Efek samping yang ditimbulkan adepovir dipivoksil antara lain:
·         nyeri pada otot
·         punggung
·         persendian dan kepala.
 Selain itu terdapat juga gangguan pada saluran pencernaan seperti mual atau diare, gejala flu, radang tenggorokan, batuk dan peningkatan kadar alanin aminotransfrase. Gangguan fungsi ginjal juga dapat terjadi pada dosis berlebih.
d.      Entecavir : Entecavir berfungsi untuk menghambat enzim polymerase yang dibutuhkan dalam sintesis DNA virus. Kelebihan entecavir adalah jarang menimbulkan resistensi virus setelah terapi jangka panjang.
Sedangkan efek samping yang dapat ditimbulkannya adalah :
·         nyeri kepala
·         pusing
·         mengantuk
·         diare
·         mual
·         nyeri pada ulu hati dan insomnia
e.       Telbivudin : Telbivudin adalah jenis antivirus yang relatif baru. Terapi telbivudin diberikan pada pasien hepatitis B dengan replikasi virus dan peradangan hati yang aktif. Telbivudin berfungsi menghambat enzim DNA polymerase yang membantu proses pencetakan material genetic (DNA) virus saat bereplikasi. Meski belum didukung data yang cukup bahwa telbivudin aman bagi ibu hamil, sebaiknya terapi telbivudin tidak diberikan pada ibu hamil mupun menyusui.
 Efek samping dari terapi telbivudin antara lain :
·         mudah lelah
·         sakit kepala
·         pusing
·         batuk
·         diare
·         mual
·         nyeri otot, dan rasa malas.
Vitamin K dapat diberikan pada kasus dengan kecenderungan pendarahan. Bila pasien dalam keadaan prekoma atau koma, penagannn seperti pada koma hepatik.




PEMERIKSAAN LABORATORIUM
   
Pemeriksaan laboratorum akan didapatkan gambaran kerusakan parenkin hati. Bilirubin serum meningkat, demikian pula transaminase serum. HBV – Diagnosis dan tes lain, bila SGPT/SGOT tinggi, diagnosis HBV dilakukan dengan tes darah. Tes ini jauh lebih rumit daripada tes HIV: tes HBV mencari antigen (pecahan virus hepatitis B) tertentu dan antibodi (yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh sebagai reaksi terhadap HBV). Tes darah awal untuk diagnosis infeksi HBV mencari satu antigen – HbsAg (antigen permukaan, atau surface, hepatitis B) dan dua antibodi – anti-HBs (antibodi terhadap antigen permukaan HBV) dan anti-HBc (antibodi terhadap antigen bagian inti, atau core, HBV). Sebetulnya ada dua tipe antibodi anti-HBc yang dibuat: antibodi IgM dan antibodi IgG.Tes darah yang dipakai untuk diagnosis infeksi HBV dapat membingungkan, karena ada berbagai kombinasi antigen dan antibodi yang berbeda, dan masing-masing kombinasi mempunyai artinya sendiri. Berikut adalah arti dari kombinasi yang mungkin terjadi :
.

PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI
   
Pemeriksaan histopatologi menunjukkan nekrosis sel hati sentribuler, infiltrasi sel radang disegitiga portal, sedangkan kerang karetikulin masih baik.Sayangnya, tes darah tidak dapat memberikan semua informasi tentang keadaan hati seseorang. Mengukur viral load HBV, tingkat enzim hati, dan AFP dalam darah tidak dapat menentukan apakah ada kerusakan, dan bila ada, tingkat kerusakan. Untuk ini, dibutuhkan biopsi hati. Biopsi hati hanya diusulkan untuk pasien dengan viral load HBV yang tinggi (di atas 100.000 kopi) dan tingkat enzim hati yang tinggi.

KEHAMILAN DENGAN PENYAKIT MENULAR SEXUAL
A.      GONORE/SIFILIS
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Treponema pallidum,  yang menyerang manusia, bersifat kronis, sistemik dan dapat mengenai semua bagian tubuh, dapat bersifat laten selama bertahun-tahun, menular serta dapat diobati. Sifilis kongenital adalah sifilis yang ditularkan oleh ibu kepada janinnya secara intra uterin. Nama lainnya adalah lues connate, syphilis connata, venereal, penyakit raja singa.
Pada abad ke-15, sifilis merupakan wabah di Eropa, tapi sesudah tahun 1860, morbiditas penyakit ini menurun dengan cepat. Selama perang dunia ke II, insiden sifilis meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 1946, dan setelah ditemukan penisilin menurun dengan cepat. Di Eropa dan Amerika Serikat insiden sifilis kongenital pada umumnya menurun sekitar tahun 1970 sampai awal 1980, namun dalam beberapa tahun terakhir tampak adanya peningkatan insiden sifilis kongenital. Peningkatan ini diduga berkaitan dengan peningkatan insiden primer dan sekunder pada wanita usia subur yang berumur 15-29 tahun. Di samping itu, sifilis congenital merupakan penyebab 20-30% kematian bayi perinatal.2
Gambaran klinis sifilis kongenital dibagi menjadi sifilis kongenital dini (timbul sebelum usia 2 tahun), serta sifilis kongenital lanjut (timbul setelah usia 2 tahun). Hampir semua kasus sifilis didapat melalui kontak seksual langsung dengan lesi dari individu yang terjangkit sifilis aktif primer ataupun sekunder. Sifilis dapat ditransmisikan secara kongenital dari ibu yang terinfeksi melalui plasenta ke janin. Transmisi lain yang mungkin namun jarang terjadi termasuk transfusi darah, kontak personal non seksual, inokulasi langsung yang tidak disengaja. Prinsip pengobatan sifilis kongenital adalah penggunaan penisilin sebagai obat pilihan, baik pada ibu hamil maupun pada bayi. Pengamatan pasca pengobatan pada bayi dilakukan secara bertahap, biasanya pada usia 2, 4, 6, 12 dan 15 bulan.
            Sifilis kongenital adalah penyakit yang didapatkan janin dalam uterus dari ibunya yang menderita sifilis. Infeksi sifilis terhadap janin dapat terjadi pada setiap stadium sifilis dan setiap masa kehamilan. Dahulu dianggap infeksi tidak dapat terjadi sebelum janin berusia 18 minggu, karena lapisan Langhans yang merupakan pertahanan janin terhadap infeksi masih belum atrofi. Tetapi ternyata dengan mikroskop elektron dapat ditemukan Treponema pallidum pada janin berusia 9-10 minggu.
Sifilis kongenital dini merupakan gejala sifilis yang muncul pada dua tahun pertama kehidupan anak, dan jika muncul setelah dua tahun pertama kehidupan anak disebut dengan sifilis kongenital lanjut.
 Epidemiologi
Sifilis terdistribusi di seluruh dunia, dan merupakan masalah yang utama pada Negara berkembang. Dilihat dari usia, kasus sifilis banyak ditemukan pada orang dengan rentang usia 20-30 tahun. Empat puluh persen wanita hamil dengan sifilis dini yang tidak diobati, akan mengakibatkan penularan pada janin.
 Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Sshaudinn dan Hoffman ialah Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia Spirochaetaceae dan genus Treponema. Bentuk seperti spiral teratur, panjangnya antara 6-15 um, lebar 0,15 um, terdiri empat dari delapan sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam. Pembiakan pada umumnya tidak dapat dilakukan di luar badan. Di luar badan kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk transfuse dapat hidup tujuh puluh dua jam.
Penularan sifilis dapat melalui cara sebagai berikut :
  1. Kontak langsung :
    1. sexually tranmited diseases (STD)
    2. non-sexually
    3. Transplasental, dari ibu yang menderita sifilis ke janin yang dikandungnya.
  2. Transfusi : Syphilis d’ emblee, tanpa primer lesi
 Klasifikasi
Menurut World Health Organization (WHO) secara garis besar sifilis dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Sifilis kongenital (bawaan)
2. Sifilis akuisita (didapat)
Sifilis kongenital dapat berbentuk :
1. Sifilis kongenital dini (timbul pada umur kurang dari 2 tahun)
2. Sifilis kongenital lanjut/tarda (timbul setelah umur lebih dari 2 tahun)
Patogenesis
Sifilis dapat ditularkan oleh ibu pada waktu persalinan, namun sebagian besar kasus sifilis kongenital merupakan akibat penularan in utero. Resiko sifilis kongenital berhubungan langsung dengan stadium sifilis yang diderita ibu semasa kehamilan. Lesi sifilis congenital biasanya timbul setelah 4 bulan in utero pada saat janin sudah dalam keadaan imunokompeten. Penularan inutero terjadi transplasental, sehingga dapat dijumpai Treponema pallidum pada plasenta, tali pusat, serta cairan amnion.
Treponema pallidum melalui plasenta masuk ke dalam peredaran darah janin dan menyebar ke seluruh jaringan. Kemudian berkembang biak dan menyebabkan respons peradangan selular yang akan merusak janin. Kelainan yang timbul dapat bersifat fatal sehingga terjadi abortus atau lahir mati atau terjadi gangguan pertumbuhan pada berbagai tingkat kehidupan intrauterine maupun ekstrauterin.
Gambaran Klinis
Berdasarkan gambaran klinisnya, sifilis kongenital dapat dibagi menjadi sifilis kongenital dini, sifilis kongenital lanjut dan stigmata. Dianggap sifilis kongenital dini jika timbul pada anak di bawah usia 2 tahun dan sifilis kongenital lanjut bila timbul di atas 2 tahun. Sigmata adalah jaringan parut atau deformitas yang terjadi akibat penyembuhan dua stadium tersebut.
  1. Sifilis kongenital dini
Gambaran klinis sifilis kongenital dini sangat bervariasi, mengenai berbagai organ dan menyerupai sifilis stadium II. Karena infeksi pada janin melalui aliran darah maka tidak dijumpai kelainan sifilis primer. Pada saat lahir bayi dapat tampak sehat dan kelainan timbul setelah beberapa minggu, tetapi dapat pula kelainan ada sejak lahir.
Pada bayi dapat dijumpai kelainan berupa kondisi berikut :
a. Pertumbuhan intrauterine yang terlambat
b.Kelainan membrane mukosa :
Mucous patch dapat ditemukan di bibir, mulut, farings, laring dan mukosa genital. Rinitis sifilitika (snuffles) dengan gambaran yang khas berupa cairan hidung yang mula-mula encer tetapi kemudian menjadi pekat, purulen dan hemoragik. Hidung menjadi tersumbat sehingga menyulitkan pemberian makanan.
c.  Kelainan kulit, rambut dan kuku
Dapat berupa makula eritem, papula, papuloskuamosa dan bula. Bula dapat sudah ada sejak lahir, tersebar secara simetris, terutama pada telapak tangan dan telapak kaki. Makula, papula atau papulomatous tersebar secara generalisata dan simetris. Di daerah yang lembab papula menjadi erosif dan membasah atau menjadi hipertrofik (kondiloma lata). Pada kasus yang berat tampak kulit menjadi keriput terutama pada daerah muka sehingga bayi tampak seperti orang tua. Rambut jarang dan kaku, alopesia areata terutama pada sisi dan belakang kepala. Alopesia dapat juga mengenai alis dan bulu mata. Onikosifilitika disebabkan oleh papula yang timbul pada dasar kuku dan menyebabkan kuku menjadi terlepas. Kuku baru yang tumbuh berwarna suram, tidak teratur dan menyempit pada bagian dasarnya.
  1. Kelainan tulang
Pada 6 bulan pertama, osteokondritis, periostitis, dan osteitis pada tulang-tulang panjang merupakan gambaran yang khas. Perubahan yang paling mencolok tampak pada daerah pertumbuhan tulang di dekat epifisis. Epifisis membesar, garis epifisis melebar dan tidak teratur. Pada batas metafisis dengan garis kartilago epifisis, tampak daerah kalsifikasi yang densitasnya meningkat dan tidak teratur sehingga pemeriksaan sinar X memberikan gambaran seperti gigi gergaji. Pseudoparalisis pada anggota gerak disebabkan oleh pembengkakan periartikular dan nyeri pada ujung-ujung tulang sehingga gerakan menjadi terbatas. Osteokondritis dapat dilihat pada pemeriksaan dengan sinar X setelah 5 minggu sedangkan periostitis setelah 16 minggu. Tanda-tanda osteokondritis menghilang setelah 6 bulan tetapi periostitis menetap dan menjadi lebih jelas.
  1. Kelainan kelenjar getah bening : terdapat limfadenopati generalisata
    1. Kelainan alat-alat dalam : hepatomegali, splenomegali, nefritis, nefrosis, pneumonia
    2. Kelainan mata : Korioretinitis, glaukoma dan uveitis
      1. Kelainan hematologi : anemia, eritroblastemia, retikulositosis, trombositopenia, diffuse intravascular coagulation (DIC)
      2. Kelainan susunan saraf pusat : meningitis sifilitika akut yang bila tidak diobati secara adekuat akan menimbulkan hidrosefalus, kejang dan mengganggu perkembangan intelektual1
      3. Sifilis kongenital lanjut
Sifilis ini biasanya timbul setelah umur 2 tahun, lebih dari setengah jumlah penderita tanpa manifestasi klinik, kecuali tes serologis yang reaktif. Titer serologis sering berfluktuasi, sehingga jika dijumpai keadaan demikian, dapat diduga suatu sifilis kongenital. Gambaran klinis dari sifilis kongenital dapat di bedakan dalam 2 tipe :4
 Diagnosis
Diagnosis pasti pada sifilis kongenital ditegakan dengan identifikasi T.pallidum. Selain itu, sifilis kongenital dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan antepartum dan pada bayi lahir mati. Untuk pemeriksaan pada janin dapat digunakan ultrasonografi (USG). Pada pemeriksaan USG dapat dijumpai penebalan kulit, penebalan plasenta, hepatosplenomegali dan hidramnion. Pemeriksaan ini dilengkapi dengan pemeriksaan cairan amnion untuk mencari adanya treponema. Identifikasi T. pallidum dengan pemeriksaan mikroskop lapagan gelap atau imunofluoresensi dapat dilakukan apabila dijumpai secret hidung, mucous patches, lesi vesiko bulosa atau kondiloma lata. Namun, cara konvensional untuk pengambilan specimen tidak sensitive dan merupakan prosedur invasive, sehingga sulit dilakukan dan hanya dilakukan pada bayi dengan lesi luas. Selain itu, terdapat beberapa kendala yang menyebabkan identifikasi T.pallidum sulit dilakukan untuk menegakkan diagnosis sifilis kongenital, yaitu :
a) T.pallidum bersifat tidak dapat dibiakkan dan sulit ditemukan pada spesmen klinis
b) Analisis serologic pada bayi rumit oleh adanya antibody maternal yang didapat transplasental
c) Sebagian besar bayi sakit yang hidup tidak menunjukkan adanya tanda infeksi
H. Penatalaksanaan
Pengobatan sifilis kongenital terbagi menjadi pengobatan pada ibu hamil dan pengobatan pada bayi. Penisilin masih tetap merupakan obat pilihan untuk pengobatan sifilis, baik sifilis didapat maupun sifilis kongenital. Pada wanita hamil, tetrasiklin dan doksisiklin merupakan kontraindikasi. Penggunaan sefriakson pada wanita hamil belum ada data yang lengkap. Pengobatan sifilis pada kehamilan di bagi menjadi tiga, yaitu :
1) Sifilis dini (primer, sekunder, dan laten dini tidak lebih dri 2 tahun).
Benzatin penisilin G 2,4 juta unit satu kali suntikan IM, atau penisilin G prokain dalamaquadest 600.000 unit IM selama 10 hari.
2) Sifilis lanjut (lebih dari 2 tahun, sifilis laten yang tidak diketahui lama
infgeksi, sifilis kardiovaskular, sifilis lanjut benigna, kecuali neurosifilis)
Benzatin penisilin G 2,4 juta unit, IM setiap minggu, selama 3 x berturut-turut, atau dengan penisilin G prokain 600.000 unit IM setiap hari selama 21 hari.
3) Neurosifilis
Bezidin penisilin 6-9 MU selama 3-4 minggu. Selanjutnya dianjurkan pemberian benzil penisilin 2-4 MU secara IV setiap 4 jam selama 10 hari yang diikuti pemberian penisilin long acting, yaitu pemberian benzatin penisilin G 2,4 juta unit IM sekali seminggu selama 3 minggu, atau penisilin G prokain 2,4 juta unit IM + prebenesid 4 x 500 mg/hari selama 10 hari yang diikuti pemberian benzatin penisilin G 2,4 juta unit IM sekali seminggu selama 3 minggu.
Terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi pada pengobatan sifilis kongenital menurut CDC tahun 1998. pengobatan harus diberikan pada bayi :
a) Menderita sifillis kongenital yang sesuai dengan gambaran klinik, laboratorium dan/radiologik,
b) Mempunyai titer test nontreponema ≥ 4 kali dibanding ibunya
c) Dilahirkan oleh ibu yang pengobatannya sebelum melahirkan tidak tercatat, tidak
diketahui, tidak adekuat atau terjadi ≤ 30 hari sebelum persalinan.
d) Dilahirkan oleh ibu seronegatif yang diduga menderita sifilis
e) Titer pemeriksaan nontreponema meningkat ≥ 4 kali selama pengamatan.
f) Hasil tes treponema tetap reaktif sampai anak berusia 15 bulan, atau
g) Mempunyai antibodi spesifik IgM antitreponema.
Selain itu, juga dipertimbangkan pengobatan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita sifilis dan diobati selama kehamilannya namun bayi tersebut selanjutnya tidak bisa diamati.  Pengobatan sifilis kongenital tidak boleh ditunda dengan alasan menunggu diagnosis pasti secara klinis atau serologik. Dengan pengobatan dengan Aqueous penisilin bergantung 1 minggu >usia bayi. Pada usia ≤ 1 minggu, diberikan tipa 12 jam, usia  – ≤ 4 minggu diberikan tiap 8 jam, dan setelah usia 4 minggu diberikan tipa 6 jam.2
 Pengobatan sifilis kongenital menurut CDC tahun 1998
  • Bayi dengan sifilis kongenital, ibu dengan/ tanpa sifilis
Penisilin G prokain 50.000 unit/kgBB IM/IV selama 10-14 hari.
  • Bayi normal
a)      Ibu sifilis dini dan/atau tanpa terapi atau terapi tidak tercatat diberikan :
Aqueous penisilin G 50.000 unit/kgBB IV selama 10-14 hari, atau penisilin
prokain G 50.000 unit/kgBB IM, 10-14 hari usia (usia ≤ 4 minggu), atau
benzatin penisilin G 50.000 unit/kgBB IM, dosis tunggal
b)      Ibu sifilis laten lanjut, atau
c)      Ibu mendapat terapi eritromosin atau obat selain penilin, atau
d)     Ibu mendapat terapi adekuat ≤ 4 minggu sebelum persalinan, atau
e)      Ibu mendapat terapi adekuat > 1 bulan sebelum persalinan, titer non treponema tidak
turun 4 kali lipat, diberikan : Benzatin penisilin 50.000 unit/kgBB IM, dosis tunggal
f)       Ibu mendapat terapi adekuat > 1 bulan sebelum persalinan, titer nontreponema turun 4 kali lipat, dilakukan : Pengamatan klinis dan serologik, atau benzatin penisilin G 50.000 unit/kgBB IM, dosis tunggal bila pengamatan tidak memungkinkan
g) Ibu mendapat terapi adekuat sebelum kehamilan dan titer stabil (VDRL≤ 1:2) selama kehamilan, dilakukan : Pengamatan klinis dan serologic. Menurut CDC 1998, diluar masa neonatus, anak yang didiagnosis sifilis congenital harus diperiksa CSS untuk menyingkirkan neurosifilis dan menentukan sifilis congenital atau sifilis didapat. Semua anak yang diduga menderita sifilis kongenital atau dengan kelainan neurologik diberikan aqueous penisiline G 50.000 unit/kgBB IV/IM tiap 4-6 jam selama 10-14 hari. Pemberian penisilin prokain tidak dianjurkan.
2. Pengobatan alternatif untuk pasien alergi penisilin
Bila alergi terhadap penisilin, sebagai obat alternatif diberikan obat tetrasiklin dan eritromisin. Tetapi efektifitasnya lebih rendah bila dibandingkan dengan penisilin. Penggunaan sefriakson pada wanita hamil belum ada data yang lengkap.
3. Pemeriksaan Setelah Pengobatan
Pemeriksaan penderita sifilis dini harus dilakukan, bila terjadi infeksi ulang setelah pengobatan. Setelah pemberian penisilin G, maka setiap pasien harus diperiksa 3 bulan kemudian untuk penentuan hasil pengobatan. Pengalaman menunjukkan bahwa infeksi ulang sering terjadi pada tahun pertama setelah pengobatan. Evaluasi kedua dilakukan 6-12 bulan setelah pengobatan. Penderita yang diberi pengobatan selain penisilin harus lebih sering diperiksa.
a. Semua penderita sifilis kardiovaskuler dan neurosifilis harus diamati bertahun-tahun,termasuk klinis, serologis dan pemeriksaan cairan sumsum tulang belakang dan bila perlu radiologis.
b.  Pada semua tingkat sifilis, pengobatan ulang diberikan bila :
a)  tanda-tanda dan gejala klinis menunjukkan sifilis aktif yang persisten atauberulang.
b) Terjadi kenaikan titer tes nontreponemal lebih dari dua kali pengenceran ganda.
c) Pada mulanya tes nontreponemal dengan titer tinggi (> 1/8) persisten bertahuntahun.
d) Harus dilakukan pemeriksaan cairan sumsum tulang belakang setelah diberi pengobatan, kecuali ada infeksi ulang atau diagnosis sifilis dini dapat ditegakkan.
e) penderita harus diberi pengobatan ulang terhadap sifilis yang lebih dari 2 tahun. Pada umumnya hanya sekali pengobatan ulang dilakukan sebab pengobatan yang cukup pada penderita akan stabil dengan titer rendah
B. HIV / AIDS
Definisi.
AIDS atau Acquired Immune Deficiency Sindrome merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV. Dalam bahasa Indonesia dapat dialihkatakan sebagai Sindrome Cacat Kekebalan Tubuh Dapatan.
Acquired : didapat, bukan penyakit keturunan
Immune : sistem kekebalan tubuh
Deficiency : kekurangan
Syndrome : kumpulan gejala-gejala penyakit.
AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi Human Immunodefciency Virus (HIV). (Suzane C. Smetzler dan Brenda G.Bare). Sedangkan di dalam kamus kedokteran Dorlan (2002), menyebutkan bahwa AIDS adalah suatu penyakit retrovirus epidemik menular, yang disebabkan oleh infeksi HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas seluler, dan mengenai kelompok risiko tertentu, termasuk pria homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat intravena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual dari individu yang terinfeksi virus tersebut.

Etiologi.
Penularan virus HIV/AIDS terjadi karena beberapa hal, di antaranya ;
1.      Penularan melalui darah, penularan melalui hubungan seks (pelecehan seksual). (WHO, 2003).
2.      Hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan.
3.      Perempuan yang menggunakan obat bius injeksi dan bergantian memakai alat suntik.
4.      Individu yang terpajan ke semen atau cairan vagina sewaktu berhubungan kelamin dengan orang yang terinfeksi HIV..
5.      Orang yang melakukuan transfusi darah dengan orang yang terinfeksi HIV, berarti setiap orang yang terpajan darah yang tercemar melalui transfusi atau jarum suntik yang terkontaminasi.

 Cara penularan dari Ibu pada anak.
Penularan HIV dari ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita HIV/AIDS sebagian besar masih berusia subur, sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang terjadi pada saat kehamilan (Richard, et al., 1997). Selain itu juga karena terinfeksi dari suami atau pasangan yang sudah terinfeksi HIV/AIDS karena sering berganti-ganti pasangan dan gaya hidup. Berdasarkan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01% sampai 0,7%. Apabila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan jika gejala AIDS sudah tampak jelas maka kemungkinannya akan meningkat mencapai 50% (PELKESI, 1995).
Penularan ini dapat terjadi dalam 3 periode:
1.        Periode kehamilan.
Selama kehamilan, kemungkinan bayi tertular HIV sangat kecil. Hal ini disebabkan karena terdapatnya plasenta yang tidak dapat ditembus oleh virus itu sendiri. Oksigen, makanan, antibodi dan obat-obatan memang dapat menembus plasenta, tetapi tidak oleh HIV.
Plasenta justru melindungi janin dari infeksi HIV. Perlindungan menjadi tidak efektif apabila ibu:
a.       Mengalami infeksi viral, bakterial, dan parasit (terutama malaria) pada plasenta selama kehamilan.
b.      Terinfeksi HIV selama kehamilan, membuat meningkatnya muatan virus pada saat itu.
c.       Mempunyai daya tahan tubuh yang menurun.
d.      Mengalami malnutrisi selama kehamilan yang secara tidak langsung berkontribusi untuk terjadinya penularan dari ibu ke anak.
2.        Periode persalinan.
Pada periode ini, resiko terjadinya penularan HIV lebih besar jika dibandingkan periode kehamilan. Penularan terjadi melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membrane mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses persalinan, maka semakin besar pula resiko penularan terjadi. Oleh karena itu, lamanya persalinan dapat dipersingkat dengan section caesaria.
Faktor yang mempengaruhi tingginya risiko penularan dari ibu ke anak selama proses persalinan adalah:
a.       Lama robeknya membran.
b.      Chorioamnionitis akut (disebabkan tidak diterapinya IMS atau infeksi lainnya).
c.       Teknik invasif saat melahirkan yang meningkatkan kontak bayi dengan darah ibu misalnya, episiotomi.
d.      Anak pertama dalam kelahiran kembar.
3.    Periode Post Partum.
Cara penularan yang dimaksud disini yaitu penularan melalui ASI. Berdasarkan data penelitian De Cock, dkk (2000), diketahui bahwa ibu yang menyusui bayinya mempunyai resiko menularkan HIV sebesar 10- 15% dibandingkan ibu yang tidak menyusui bayinya. Risiko penularan melalui ASI tergantung dari:
a.       Pola pemberian ASI, bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif akan kurang berisiko dibanding dengan pemberian campuran.
b.      Patologi payudara: mastitis, robekan puting susu, perdarahan putting susu dan infeksi payudara lainnya.
c.       Lamanya pemberian ASI, makin lama makin besar kemungkinan infeksi.
d.      Status gizi ibu yang buruk.

    Manifestasi Klinis.
Manifestasi klinis yang tampak dibagi menjadi 2, yaitu:
1)      Manifestasi Klinis Mayor
a.       Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan.
b.      Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus-menerus.
c.       Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 3 tiga bulan.
d.      TBC.
2)      Manifestasi Klinis Minor.
a.    Batuk kronis selama lebih dari satu bulan.
b.   Infeksi pada mulut dan jamur disebabkan karena jamur Candida Albicans.
c.    Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh.
d.   Munculnya Herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal di seluruh tubuh.

  Diagnosis.
1.    VCT (Voluntary Counseling Testing)
VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya untuk mencegah penularan HIV, memberikan dukungan moral, informasi, serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga , dan lingkungannya. Tujuan VCT.
a.         Upaya pencegahan HIV/AIDS.
b.        Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/pengetahuan mereka tentang faktor-faktor resiko penyebab seseorang terinfeksi HIV
c.         Upaya pengembangan perubahan perilaku, sehingga secara dini mengarahkan mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat
2.      Pemerikasaan Laboratorium.
a.       Tes serologis: tes antibodi serum terdiri dari skrining HIV dan ELISA;
tes blot western untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap beberapa protein spesifik HIV ; penurunan sel T limfosit; jumlah sel T4 helper; jumlah sel T8 dengan perbandingan 2:1 dengan sel T4; peningkatan nilai kuantitatif P24 (protein pembungkus HIV); peningkatan kadar IgG, Ig M dan Ig A; reaksi rantai polymerase untuk mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler; serta tes PHS (pembungkus hepatitis B dan antibodi,sifilis, CMV mungkin positif).
b.      Pemeriksaan histologis, sitologis urin ,darah, feces, cairan spina, luka, sputum, dan sekresi.
c.       Tes neurologis: EEG, MRI, CT Scan otak, EMG.
d.      Tes lainnya: sinar X dada menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCV tahap lanjut atau adanya komplikasi lain; tes fungsi pulmonal untuk deteksi awal pneumonia interstisial; Scan gallium; biopsy; branskokopi.
3.      Tes Antibodi.
a.       Tes ELISA, untuk menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi HIV.
b.      Western blot asay/ Indirect Fluorescent Antibody (IFA), untuk mengenali antibodi HIV dan memastikan seropositifitas HIV.
c.       Indirect immunoflouresence, sebagai pengganti pemerikasaan western blot untuk memastikan seropositifitas.
d.      Radio immuno precipitation assay, mendeteksi protein pada antibodi.
4        Pendeteksian HIV.
Dilakukan dengan pemeriksaan P24 antigen capture assay dengan kadar yang sangat rendah. Bisa juga dengan pemerikasaan kultur HIV atau kultur plasma kuantitatif untuk mengevaluasi efek anti virus, dan pemeriksaan viremia plasma untuk mengukur beban virus (viral burden).

 Penatalaksanaan.
HIV menyebabkan terjadinya penurunan kekebalan tubuh sehingga pasien rentan terhadap serangan infeksi oportunistik. ARV bisa diberikan pada pasien untuk menghentikan aktivitas virus, memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi oportunistik, memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang usia harapan hidup penderita HIV/AIDS. Obat ARV terdiri atas beberapa golongan seperti nucleoside reversetranscriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease.

    Pencegahan.
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui tiga cara, dan bisa dilakukan mulai saat masa kehamilan, saat persalinan, dan setelah persalinan. Cara tersebut yaitu:
1.      Penggunaan obat Antiretroviral selama kehamilan, saat persalinan dan untuk bayi yang baru dilahirkan. Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load menjadi lebih rendah sehingga jumlah virus yang ada dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Resiko penularan akan sangat rendah (1-2%) apabila terapi ARV ini dipakai. Namun jika ibu tidak memakai ARV sebelum dia mulai sakit melahirkan, ada dua cara yang dapat mengurangi separuh penularan ini. AZT dan 3TC dipakai selama waktu persalinan, dan untuk ibu dan bayi selama satu minggu setelah lahir. Satu tablet nevirapine pada waktu mulai sakit melahirkan, kemudian satu tablet lagi diberi pada bayi 2–3 hari setelah lahir. Menggabungkan nevirapine dan AZT selama persalinan mengurangi penularan menjadi hanya 2 persen. Namun, resistansi terhadap nevirapine dapat muncul pada hingga 20 persen perempuan yang memakai satu tablet waktu hamil. Hal ini mengurangi keberhasilan ART yang dipakai kemudian oleh ibu. Resistansi ini juga dapat disebarkan pada bayi waktu menyusui. Walaupun begitu, terapi jangka pendek ini lebih terjangkau di negara berkembang.
2.      Penanganan obstetrik selama persalinan. Persalinan sebaiknya dipilih dengan menggunakan metode Sectio caesaria karena metode ini terbukti mengurangi resiko penularan HIV dari ibu ke bayi sampai 80%. Apabila pembedahan ini disertai dengan penggunaan terapi antiretroviral, maka resiko dapat diturunkan sampai 87%. Walaupun demikian, pembedahan ini juga mempunyai resiko karena kondisi imunitas ibu yang rendah yang bisa memperlambat penyembuhan luka. Oleh karena itu, persalinan per vagina atau sectio caesaria harus dipertimbangkan sesuai kondisi gizi, keuangan, dan faktor lain.
3.      Penatalaksanaan selama menyusui. Pemberian susu formula sebagai pengganti ASI sangat dianjurkan untuk bayi dengan ibu yang positif HIV. Karena sesuai dengan hasil penelitian, didapatkan bahwa ± 14 % bayi terinfeksi HIV melalui ASI yang terinfeksi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar