Minggu, 28 April 2013

KOMPLIKASI PERSALINAN



MENDETEKSI ADANYA KOMPLIKASI PERSALINAN KALA III DAN CARA MENGATASINYA

PERDARAHAN PADA KALA III
1        Definisi
Perdarahan post partum didefinisikan sebagai hilangnya 500 ml atau lebih darah setelah anak lahir. Pritchard dkk mendapatkan bahwa sekitar 5% wanita yang melahirkan pervaginam kehilangan lebih dari 1000 ml darah.

2        Epidemiologi
Perdarahan karena kontraksi rahim yang lemah setelah anak lahir meningkat insidennya pada kehamilan dengan pembesaran rahim yang berlebihan seperti pada kehamilan ganda, hidramnion, anak terlalu besar ataupun pada rahim yang melemah daya kontraksinya seperti pada grandemultipara, interval kehamilan yang pendek, atau pada kehamilan usia lanjut, induksi partus dengan oksitosin, his yang terlalu kuat sehingga anak dilahirkan terlalu cepat dan sebagainya.
Perdarahan post partum dini jarang disebabkan oleh retensi potongan plasenta yang kecil, tetapi plasenta yang tersisa sering menyebabkan perdarahan pada akhir masa nifas. Kadang-kadang plasenta tidak segera terlepas. Bidang obstetri membuat batas-batas durasi kala tiga secara agak ketat sebagai upaya untuk mendefenisikan retensio plasenta shingga perdarahan akibat terlalu lambatnya pemisahan plasenta dapat dikurangi. Combs dan Laros meneliti 12.275 persalinan pervaginam tunggal dan melaporkan median durasi kala III adalah 6 menit dan 3,3% berlangsung lebih dari 30 menit. Beberapa tindakan untuk mengatasi perdarahan, termasuk kuretase atau transfusi, menigkat pada kala tiga yang mendekati 30 menit atau lebih. (yayanakhyar.com, 2008)
Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah pada sebelum hamil dan derajat anemia saat kelahiran. Gambaran perdarahan post partum yang dapat mengecohkan adalah nadi dan tekanan darah yang masih dalam batas normal sampai terjadi kehilangan darah yang sangat banyak.

3        Klasifikasi
Klasifikasi perdarahan postpartum :
          Perdarahan post partum primer / dini  (early postpartum hemarrhage), yaitu perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utamanya adalah atonia uteri, retention plasenta, sisa plasenta dan robekan jalan lahir. Banyaknya terjadi pada 2 jam pertama
              Perdarahan Post Partum Sekunder / lambat (late postpartum hemorrhage), yaitu-perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pertama.
4        Etiologi
Penyebab umum perdarahan postpartum adalah:
1.       Atonia Uteri
2.       Retensi Plasenta
3.       Sisa Plasenta dan selaput ketuban
-     Pelekatan yang abnormal (plasaenta akreta dan perkreta)
-     Tidak ada kelainan perlekatan (plasenta seccenturia)
4.       Trauma jalan lahir
a.         Episiotomi yang lebar
b.         Lacerasi perineum, vagina, serviks, forniks dan rahim
c.         Rupture uteri
5.       Penyakit darah
Kelainan pembekuan darah misalnya afibrinogenemia /hipofibrinogenemia.
Tanda yang sering dijumpai :
-     Perdarahan yang banyak.
-     Solusio plasenta.
-     Kematian janin yang lama dalam kandungan.
-     Pre eklampsia dan eklampsia.
-     Infeksi, hepatitis dan syok septik.
6.       Hematoma
7.       Inversi Uterus
8.       Subinvolusi UterusHal-hal yang dicurigai akan menimbulkan perdarahan pasca persalinan. Yaitu :
-     Riwayat persalinan yang kurang baik, misalnya:
      1.   Riwayat perdarahan pada persalinan yang terdahulu.
      2.   Grande multipara (lebih dari empat anak).
      3.   Jarak kehamilan yang dekat (kurang dari dua tahun).
      4.   Bekas operasi Caesar.
      5.   Pernah abortus (keguguran) sebelumnya.
-     Hasil pemeriksaan waktu bersalin, misalnya:
            1.         Persalinan/kala II yang terlalu cepat, sebagai contoh setelah ekstraksi vakum, forsep.
            2.         Uterus terlalu teregang, misalnya pada hidramnion, kehamilan kembar, anak besar.
            3.         Uterus yang kelelahan, persalinan lama.
            4.         Uterus yang lembek akibat narkosa.
            5.         Inversi uteri primer dan sekunder.

5        Manifestasi Klinis
Gejala Klinis umum yang terjadic adalah kehilangan darah dalam jumlah yang banyak (> 500 ml), nadi lemah, pucat, lochea berwarna merah, haus, pusing, gelisah, letih, dan dapat terjadi syok hipovolemik, tekanan darah rendah, ekstremitas dingin, mual.
6        Diagnosis
Untuk membuat diagnosis perdarahan postpartum perlu diperhatikan ada perdarahan yang menimbulkan hipotensi dan anemia. apabila hal ini dibiarkan berlangsung terus, pasien akan jatuh dalam keadaan syok. perdarahan postpartum tidak hanya terjadi pada mereka yang mempunyai predisposisi, tetapi pada setiap persalinan kemungkinan untuk terjadinya perdarahan postpartum selalu ada.
Perdarahan yang terjadi dapat deras atau merembes. perdarahan yang deras biasanya akan segera menarik perhatian, sehingga cepat ditangani sedangkan perdarahan yang merembes karena kurang nampak sering kali tidak mendapat perhatian. Perdarahan yang bersifat merembes bila berlangsung lama akan mengakibatkan kehilangan darah yang banyak. Untuk menentukan jumlah perdarahan, maka darah yang keluar setelah uri lahir harus ditampung dan dicatat.
Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluar dari vagina, tetapi menumpuk di vagina dan di dalam uterus. Keadaan ini biasanya diketahui karena adanya kenaikan fundus uteri setelah uri keluar. Untuk menentukan etiologi dari perdarahan postpartum diperlukan pemeriksaan lengkap yang meliputi anamnesis, pemeriksaan umum, pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan dalam.
Pada atonia uteri terjadi kegagalan kontraksi uterus, sehingga pada palpasi abdomen uterus didapatkan membesar dan lembek. Sedangkan pada laserasi jalan lahir uterus berkontraksi dengan baik sehingga pada palpasi teraba uterus yang keras. Dengan pemeriksaan dalam dilakukan eksplorasi vagina, uterus dan pemeriksaan inspekulo. Dengan cara ini dapat ditentukan adanya robekan dari serviks, vagina, hematoma dan adanya sisa-sisa plasenta.

7        Pencegahan dan Penanganan
Cara  yang terbaik untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum adalah memimpin kala II dan kala III persalinan secara lega artis. Apabila persalinan diawasi oleh seorang dokter spesialis obstetrik dan ginekologi ada yang menganjurkan untuk memberikan suntikan ergometrin secara IV setelah anak lahir, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah perdarahan yang terjadi.
Penanganan umum pada perdarahan post partum :
      Ketahui dengan pasti kondisi pasien sejak awal (saat masuk)
      Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman (termasuk upaya pencegahan perdarahan pasca persalinan)
      Lakukan observasi melekat pada 2 jam pertama pasca persalinan (di ruang persalinan) dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya (di ruang rawat gabung).
      Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
      Segera lakukan penlilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan masalah dan komplikasi
      Atasi syok
      Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah, lakukam pijatan uterus, berikan uterotonika 10 IU IM dilanjutkan infus 20 IU dalam 500cc NS/RL dengan 40 tetesan permenit.
      Pastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan robekan jalan lahir.
      Bila perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
      Pasang kateter tetap dan lakukan pemantauan input-output cairan
      Cari penyebab perdarahan dan lakukan penangan spesifik.

1.      ATONIA UTERI
1.          Pengertian
  Atonia uteri adalah tidak adanya tegangan/ kekuatan otot pada daerah uterus/rahim.
(Kamus Kedokteran Dorland).
  Atonia uteri adalah dimana rahim tidak dapat berkontraksi dengan baik setelah persalinan, terjadi pada sebagian besar perdarahan pasca persalinan.
(Obstetri edisi ke 2, 1998:254).
  Atonia uteri adalah keadaan dimana uterus tidak berkontraksi setelah anak lahir.
(Phantom:358).

Atonia uteri didefinisikan sebagai suatu kondisi  kegagalan uterus dalam berkontraksi dengan baik setelah persalinan, sedangkan atonia uteri juga di definisikan sebagai tidak adanya kontraksi uterus segera setelah plasenta lahir.
Sebagaian besar perdarahan pada masa nifas ( 75-80% ) adalah akibat adanya atonia uteri. Sebagaimana kita ketahui bahwa aliran darah uteroplasenta selama masa kehamilan adalah 500-800 ml/menit, sehingga kita bisa bayangkan ketika uterus itu tidak berkontraksi selama beberapa menit saja maka akan menyebabkan kehilangan darah yang sangat banyak. Sedangkan volume darah manusia hanya berkisar 5-6 liter saja.
Atonia uteri ( relaksasi otot uterus ) adalah uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri ( plasenta telah lahir ). ( JNPKR, Asuhan Persalinan Normal, Depkes Jakarta ; 2002 )
2.      Etiologi
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan factor  predisposisi ( penunjang ) seperti :
a.    Overdistention uterus seperti : gemeli makrosomia, polihidroamnion, atau paritas tinggi
b.    Umur yang terlalu muda atau terlalu tua
c.    Multipara dengan jarak kelahiran pendek
d.   Partus lama / Partus terlantar
e.    Malnutrisi
f.     Penanganan salah dalam usaha melahirkan plasenta, misalnya plasenta belum terlepas dari dinding uterus
3.    Tanda dan Gejala
a.    Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan darah tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan, hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak lagi sebagai anti pembeku darah.
b.    Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting / khas atonia dan yang membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
c.     Fundus uteri naik
Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan menggumpal
d.   Terdapat tanda-tanda syok
Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ektremitas dingin, gelisah, mual dan lain-lain

4.      Diagnosis
a.    Data Subjektif
Ibu mengatakan merasa mules pada perut bagian bawah.
b.    Data Objektif
Pemeriksaan fisik : Uterus tidak berkontraksi dan lunak serta terjadi perdarahan segera setelah plasenta dan janin lahir
5.      Penatalaksanaan
a.     Masase dan Kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan perdarahan.
Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (maksimal 15 detik)
1)      Gunakan sarung tangan DTT panjang
2)      Bersihkan vulva dan perineum dengan cairan antiseptik
3)      Kosongkan kandung kemih
4)      Mengeluarkan semua bekuan darah atau selaput yang mungkin masih tertinggal
5)      Segera memulai kompresi bimanual internal
a)      Masukkan tangan yang memakai sarung tangan ke dalam vagina secara obstetrik
b)      Kepalkan tangan pada forniks anterior
c)      Tekankan tangan yang ada dalam vagina dengan mantap
d)     Tekankan tangan luar pada perutdan gunakantekanan melawan kepalan tangan yang berada di dalam vagina secara bersamaan
e)      Tahan dengan mantap
6)      Kontraksi pertahankan tekanan selama 2 menit, lalu dengan perlahan tariklah tangan keluar. Jika uterus berkontraksi , teruskan pemantauan.
7)      Jika uterus tidak berkontraksi setelah 5 menit, suruhlah anggota keluarganya untuk melakukan kompresi bimanual ekternal (KBE) sementara kita member injeksi methergin 0,2 mg IM dan memulai infuse IV ( RL dengan 20 IU oksitosin / 500 cc terbuka lebar / guyur ).
8)      Jika uterus tetap tidak berkontraksi lanjutkan kembali KBIsegera setelah kita memberikan injeksi methergin dan memulai infuse IV.
9)      Jika uterus belum juga mulai berkontraksi setelah 5-7 menit, segeralah perujukan dengan IV tetap terpasang dengan laju 500cc/ jam hingga tiba di tempat perujukan atau jumlah seluruhnya 1,5 liter diinfuskan. Lalu teruskan dengan laju infuse 125 cc / jam.
b.    Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan postpartum banyak, maka penganganan awal yaitu resusitasi dengan oksigen dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital, jumlah urin, dan saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
c.     Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infuse dengan RL 20 IU per liter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU IMM. Perdarahan postpartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan aktif yang terjadi.
d.   Uterine lavage dan uterine packing
Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan ,pemberian air panas ke dalam cavum uteri mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi atonia uteri. Pemberian 1-2 liter salin 470C-500C langsung kedalam cavum uteri menggunakan pipa infus. Prinsipnya adalah membuat distensi maksimum sehingga memberikan tekanan maksimumpada dinding uterus. Segmen bawah rahim harus terisi sekuat mungkin, anestesi dibutuhkan dalam penangan ini dan antibiotika broad-spectrum harus diberikan. Uterine packing dipasang selama 24-36 jam, sambil memberikan resusitasi cairan dan transfuse darah masuk. Uterine packing diberikan jika tidak tersedia fasilitas operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi.
e.    Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan 80-90%.
1)        Ligasi arteri Iliaka Interna
Identifikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral parallel dengan garis ureter.setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri dan dengan menggunakan benang non absorbable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi. Resiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.
2)      Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “ brace suture “, ditemukan oleh Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan postpartum akibat atonia uteri.
3)      Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi perdarahan postpartum masih yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 100.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal.
4)      Ligasi arteri uterine
Benerapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi arteri uterina dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterine diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterine, masuk ke miometrium keluar dibagian avaskular ligamentum latum lateral vasa uterine. Saat ,melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika uterina, ligasi kedua dilakukan bilateral ipada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina diatas.Ligasi ini harus mengenai sebagian besar arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.
2.      Kompresi uterus bimanual dapat ditangani tanpa kesulitan dalam 10-15 menit. Biasanya sangat baik mengontrol bahaya sementara dan sering menghentikan perdarahan secara sempurna. Bila uterus refrakter oksitosin dan perdarahan tidak berhenti setelah kompresi bimanual maka harus dilakukan tindakan terakhir yaitu histerektomi.
B.     Retensio Plasenta
1.      Pengertian
  Retensio plasenta adalah apabila plasenta belum lahir setengah jam sesudah anak lahir.
(Sinopsis Obstertri jilid I : 299).
  Retensio plasenta adalah apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir.
(Ilmu kebidanan : 656).
  Retensio plasenta adalah tertahannya/ belum lahirnya plasenta hingga/ melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir.
(Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal : 299).
  Retensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam setelah persalinan bayi.
(Ilmu Kebidanan Dan Penyakit Kandungan IBG. Manuaba : 300).

2.      Etiologi
a.         Fungsional
1)        His kurang kuat
2)        Terhalang oleh kandung kemih yang penuh
3)        Plasenta sulit terlepas, karena :
Tempatnya       :  Insersi di sudut tuba
Bentuknya        :  Plasenta membranacea, plasenta anularis
Ukurannya        :  Plasenta yang sangat kecil
Plasenta yang sukar lepas karena sebab-sebab tersebut di atas di sebut plasenta adhesiva
b.        Patolog – Anatomis
1)        Plasenta akreta, plasenta inkreta dan plasenta perkreta ( Obstetri Patologi, hal 236 ).
a)      Plasenta Adhesiva
Adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
b)      Plasenta Akreta
Adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium.
c)      Plasenta Inkreta
Adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai atau memasuki miometrium
d)     Plasenta Perlireta
Adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapa lapisan serosa dinding uterus.
e)      Plasenta Inkarserata
Adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri yang disebabkan oleh kontraksi osteuni uteri.
2)        Plasenta belum lepas dari dinding uterus
3)        Plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan ( disebabkan  karena tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III )
4)        Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korealis menembus desidua sampai miometrium sampai dibawah peritoneum ( plasenta akreta – perkreta )
3.      Tanda dan Gejala
a.         Terjadi perdarahan segera
b.        Uterus tidak berkontraksi
c.         Tinggi fundus uteri tetap atau tidak berkurang
d.        Plasenta belum lahir selama 30 menit setelah bayi lahir
4.      Diagnosis
a.       Data subjektif
Ibu mengatakan perutnya terasa mulas  dan plasenta belum lahir
b.      Data objektif
Pemeriksaan Fisik : Palpasi pada daerah perut didapatkan uterus tidak teraba bulat dan keras kontraksi kurang baik, TFU 1 jari diatas pusat dan vesika urinaria teraba agak menonjol serta terjadi perdarahan segera setelah anak lahir ( postpartum primer )

5.       Penatalaksanaan
Penanganan retensio plasenta berupa pengeluaran plasenta dilakukan apabila plasenta belum lahir dalam ½ - 1 jam setelah bayi lahir terlebih lagi apabila disertai perdarahan.
Tindakan penanganan retensio plasenta :
a.    Memberikan informasi kepada ibu dan keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan
b.     Mencuci tangan secara efektif
c.    Melaksanakan pemeriksaan umum
d.   Mengukur vital sign, suhu, nadi, tekanan darah dan pernafasan
e.    Melakukan pemeriksaan kebidanan seperti inspeksi, palpasi, periksa dalam
f.     Memakai sarung tangan steril
g.    Melakukan vulva hygiene
h.    Mengamati adanya gejala dan tanda retensio plasenta
i.      Bila plasenta tidak lahir dalam 30 menit sesudah lahir atau terjadi perdarahan sementara plasenta belum lahir maka berikan oxytocin 10 IU IM
j.      Pastikan bahwa kandung kencing kosong dan tunggu terjadi kontraksi, kemudian coba melahirkan plasenta dengan menggunakan peregangan tali pusat terkendali
k.    Bila dengan tindakan tersebut plasenta belum lahir dan terjadi perdarahan banyak, maka plasenta harus dilahirkan secara manual plasenta
l.      Berikan cairan infuse NACL atau RL secara guyur untuk mengganti cairan
C. ROBEKAN JALAN LAHIR
  1. Pengertian Robekan Jalan Lahir
Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir. Perlukaan jalan lahin terdiri dari :
*      Robekan Perinium
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengan dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika
Perinium merupakan kumpulan berbagai jaringan yang membentuk perinium (Cunningham,1995). Terletak antara vulva dan anus, panjangnya kira-kira 4 cm (Prawirohardjo, 1999). Jaringan yang terutama menopang perinium adalah diafragma pelvis dan urogenital. Diafragma pelvis terdiri dari muskulus levator ani dan muskulus koksigis di bagian posterior serta selubung fasia dari otot-otot ini. Muskulus levator ani membentuk sabuk otot yang lebar bermula dari permukaan posterior ramus phubis superior, dari permukaan dalam spina ishiaka dan dari fasia obturatorius.
Serabut otot berinsersi pada tempat-tempat berikut ini: di sekitar vagina dan rektum, membentuk sfingter yang efisien untuk keduanya, pada persatuan garis tengah antara vagina dan rektum, pada persatuan garis tengah di bawah rektum dan pada tulang ekor. Diafragma urogenitalis terletak di sebelah luar diafragma pelvis, yaitu di daerah segitiga antara tuberositas iskial dan simpisis phubis. Diafragma urogenital terdiri dari muskulus perinialis transversalis profunda, muskulus konstriktor uretra dan selubung fasia interna dan eksterna (Cunningham, 1995).
Persatuan antara mediana levatorani yang terletak antara anus dan vagina diperkuat oleh tendon sentralis perinium, tempat bersatu bulbokavernosus, muskulus perinialis transversalis superfisial dan sfingter ani eksterna. Jaringan ini yang membentuk korpus perinialis dan merupakan pendukung utama perinium, sering robek selama persalinan, kecuali dilakukan episiotomi yang memadai pada saat yang tepat. Infeksi setempat pada luka episiotomi merupakan infeksi masa puerperium yang paling sering ditemukan pada genetalia eksterna.
LukaPerinium
Luka perinium adalah perlukaan yang terjadi akibat persalinan pada bagian perinium dimana muka janin menghadap (Prawirohardjo S,1999).
Luka perinium, dibagi atas 4tingkatan :
Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perinium
Tingkat II : Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinea transversalis, tetapi tidak mengenai spingter ani
Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perinium dan otot spingter ani
Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rektum
*      Robekan Serviks
Robekan serviks paling sering terjadi pada jam 3 dan 9. bibir depan dan bibir belakang servik dijepit dengan klem fenster  kemudian serviks ditariksedidikit untuk menentukan letak robekan dan ujung robekan. Selanjutnya robekan dijahit dengan catgut kromik dimulai dari ujung untuk menghentikan perdarahan.
  1. Rupture Uteri
Ruptur uteri merupakan peristiwa yang paling gawat dalam bidang kebidanan karena angka kematiannya yang tinggi. Janin pada ruptur uteri yang terjadi di luar rumah sakit sudah dapat dipastikan meninggal dalam kavum abdomen.
Ruptura uteri masih sering dijumpai di Indonesia karena persalinan masih banyak ditolong oleh dukun. Dukun seagian besar belum mengetahui mekanisme persalinan yang benar, sehingga kemacetan proses persalinan dilakukan dengan dorongan pada fundus uteri dan dapat mempercepat terjadinya rupturauteri.
Menurut Sarwono Prawirohardjo pengertian ruptura uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akiat dilampauinya daya regang mio metrium. Penyebab ruptura uteri adalah disproporsi janin dan panggul, partus macet atau traumatik. Ruptura uteri termasuk salahs at diagnosis banding apabila wanita dalam persalinan lama mengeluh nyeri hebat pada perut bawah, diikuti dengan syok dan perdarahan pervaginam. Robekan tersebut dapat mencapai kandung kemih dan organ vital di sekitarnya.
Resiko infeksi sangat tinggi dan angka kematian bayi sangat tinggi pada kasus ini. Ruptura uteri inkomplit yang menyebabkan hematoma pada para metrium, kadang-kadang sangat sulit untuk segera dikenali sehingga menimbulkan komplikasi serius atau bahkan kematian. Syok yang terjadi seringkali tidak sesuai dengan jumlah darah keluar karena perdarhan heat dapat terjadi ke dalam kavum abdomen. Keadaan-keadaan seperti ini, sangat perlu untuk diwaspadai pada partus lama atau kasep.
Ruptur Uteri adalah robekan atau diskontinuita dinding rahim akibat dilampauinya daya regang miomentrium. ( buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal )
Rupture uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau dalam persalinan dengan atau tanpa robeknya perioneum visceral.
( Obstetri dan Ginekologi ).
Ruptur uteri dapat dibagi menurut beberapa cara :
1.Menurut waktu terjadinya
a)R. u. Gravidarum
Waktu sedang hamil
Sering lokasinya pada korpus
b)R. u. Durante Partum
Waktu melahirkan anak
Ini yang terbanyak
2.Menurut lokasinya:
a)Korpus uteri, ini biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi seperti seksio sesarea klasik ( korporal ), miemoktomi
b)Segmen bawah rahim ( SBR ), ini biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama tidak maju, SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri yang sebenarnya
c)Serviks uteri ini biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsipal atau versi dan ekstraksi sedang pembukaan belum lengkap
d)Kolpoporeksis, robekan-robekan di antara serviks dan vagina
3.Menurut robeknya peritoneum
a). R. u. Kompleta : robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya ( perimetrium ) ; dalam hal ini terjadi hubungan langsung antara rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya peritonitis
b)R. u. Inkompleta : robekan otot rahim tanpa ikut robek peritoneumnya. Perdarahan terjadi subperitoneal dan bisa meluas ke lig.latum
4.Menurut etiologinya
a)Ruptur uteri spontanea
Menurut etiologinya dibagi 2 :
1)Karena dinding rahim yang lemah dan cacat
bekas seksio sesarea
bekas miomectomia
bekas perforasi waktu keratase.
Pembagian rupture uteri menurut robeknya dibagi menjadi :
1.         Ruptur uteri kompleta
a. Jaringan peritoneum ikut robek
b. Janin terlempar ke ruangan abdomen
c. Terjadi perdarahan ke dalam ruangan abdomen
d. Mudah terjadi infeksi
2.         Ruptura uteri inkompleta
a. Jaringan peritoneum tidak ikut robek
b. Janin tidak terlempar ke dalam ruangan abdomen
c. Perdarahan ke dalam ruangan abdomen tidak terjadi
d. Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma
B.Etiologi (penyebab)
1. Robekan perinium
Umumnya terjadi pada persalinan
  1. Kepala janin terlalu cepat lahir
  2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
  3. Jaringan parut pada perinium
  4. Distosia bahu
2.Robekan serviks
a. Partus presipitatus
b. Trauma krn pemakaian alat-alat operasi
c. Melahirkan kepala pd letak sungsang scr paksa, pembukaan blm    lengkap
d. Partus lama
3. Ruptur Uteri
1.riwayat pembedahan terhadap fundus atau korpus uterus
2.induksi dengan oksitosin yang sembarangan atau persalinan yang lama
3.presentasi abnormal ( terutama terjadi penipisan pada segmen bawah uterus ).
( Helen, 2001 )
4. panggul sempit
5.letak lintang
6.hydrosephalus
7.tumor yg menghalangi jalan lahir
8.presentasi dahi atau muka
C.Patofisiologi
1. Robekan Perinium
Robekan perineum terjadi pada semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat, sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan pendarahan dalam tengkorok janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama.
Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah dan bias menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang daripada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan vaginial.
2. Robekan Serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang multiparaberbeda daripada yang belum pernah melahirkan per vaginam. Robekan serviks yang luas mengakibatkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan serviks uteri.
3. Rupture Uteri
1. Ruptura uteri spontan
a. Terjadi spontan dan seagian besar pada persalinan
b. Terjadi gangguan mekanisme persalinan sehingga menimbulkan ketegangan segmen bawah rahim yang berlebihan
2. Ruptur uteri trumatik
a. Terjadi pada persalinan
b. Timbulnya ruptura uteri karena tindakan seperti ekstraksi farsep, ekstraksi vakum, dll
3. Rupture uteri pada bekas luka uterus
Terjadinya spontan atau bekas seksio sesarea dan bekas operasi pada uterus.
D.Tanda dan Gejala
1. Robekan jalan lahir
Tanda dan Gejala yang selalu ada :
  1. Pendarahan segera
  2. Darah segar yang mengalir segera setelah bayi hir
  3. Uterus kontraksi baik
  4. Plasenta baik
Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada
  1. Pucat
  2. Lemah
  3. Menggigil
2. Rupture Uteri
Tanda dan gejala ruptur uteri dapat terjadi secara dramatis atau tenang.
Dramatis
Nyeri tajam, yang sangat pada abdomen bawah saat kontraksi hebat memuncak
Penghentian kontraksi uterus disertai hilangnya rasa nyeri
Perdarahan vagina ( dalam jumlah sedikit atau hemoragi )
Terdapat tanda dan gejala syok, denyut nadi meningkat, tekanan darah menurun dan nafas pendek ( sesak )
Temuan pada palpasi abdomen tidak sama dengan temuan terdahulu
Bagian presentasi dapat digerakkan diatas rongga panggul
Janin dapat tereposisi atau terelokasi secara dramatis dalam abdomen ibu
Bagian janin lebih mudah dipalpasi
Gerakan janin dapat menjadi kuat dan kemudian menurun menjadi tidak ada gerakan dan DJJ sama sekali atau DJJ masih didengar
Lingkar uterus dan kepadatannya ( kontraksi ) dapat dirasakan disamping janin ( janin seperti berada diluar uterus ).
Tenang
Kemungkinan terjadi muntah
Nyeri tekan meningkat diseluruh abdomen
Nyeri berat pada suprapubis
Kontraksi uterus hipotonik
Perkembangan persalinan menurun
Perasaan ingin pingsan
Hematuri ( kadang-kadang kencing darah )
Perdarahan vagina ( kadang-kadang )
Tanda-tanda syok progresif
Kontraksi dapat berlanjut tanpa menimbulkan efek pada servik atau kontraksi mungkin tidak dirasakan
DJJ mungkin akan hilang
F.Penatalaksanaan Medis
PENJAHITAN ROBEKAN SERVIKS
  • Tinjau kembali prinsip perawatan umum dan oleskan larutan anti septik ke vagina dan serviks
  • Berikan dukungan dan penguatan emosional. Anastesi tidak dibutuhkan padasebasian besar robekan serviks. Berikan petidin dan diazepam melalui IV secara perlahan (jangan mencampur obat tersebut dalam spuit yang sama) atau gunakan ketamin untuk robekan serviks yang tinggi dan lebar
  • Minta asisten memberikan tekanan pada fundus dengan lembut untuk membantu  mendorong serviks jadi terlihat
  • Gunakan retraktor vagina untuk membuka serviks, jika perlu
  • Pegang serviks dengan forcep cincin atau forcep spons dengan hati–hati. Letakkan forcep pada kedua sisi robekan dan tarik dalam berbagai arah secara perlahan untuk melihat seluruh serviks. Mungkin terdapat beberapa robekan.
  • Tutup robekan serviks dengan jahitan jelujur menggunakan benang catgut kromik atau poliglokolik 0 yang dimulai pada apeks(tepi atas robekan) yang seringkali menjadi sumber pendarahan.
  • Jika bagian panjang bibir serviks robek, jahit dengan jahitan jelujur menggunakan benang catgut kromik atau poliglikolik 0.
  • Jika apeks sulit diraih dan diikat, pegang pegang apeks dengan forcep arteri atau forcep cincin. Pertahankan forcep tetap terpasang selama 4 jam. Jangan terus berupaya mengikat tempat pendarahan karena upaya tersebut dapat mempererat pendarahan. Selanjutnya :
-          Setelah 4 jam, buka forcep sebagian tetapi jangan dikeluarkan.
-          Setelah 4 jam berikutnya, keluarkan seluruh forcep.
-
PENJAHITAN ROBEKAN VAGINA DAN PERINIUM
Terdapat empat derajat robekan yang bisa terjadi saat pelahiran, yaitu :
Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dan jaringan ikat
Tingkat II : Robekan mengenai mukosa vagina, jaringan ikat, dan otot dibawahnya tetapi tidak menenai spingter ani
Tingkat III : robekan mengenai trnseksi lengkap dan otot spingter ani
Tingkat IV : robekan sampai mukosa rectum.
PENJAHITAN ROBEKAN DERAJAT I DAN II
Sebagian besar derajat I menutup secara spontan tanpa dijahit.
  • Tinjau kembali prinsip perawatan secara umum.
  • Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anastesi lokal dengan lignokain. Gunakan blok pedendal, jika perlu.
  • Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa uterus berkontraksi.
  • Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat.
  • Jika robekan perinium panjang dan dalam, inspeksi untuk memastikan bahwa tidak terdapat robekan derajat III dan IV.
-          Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus
-          Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter.
-          Periksa tonus otot atau kerapatan sfingter
  • Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau DTT
  • Jika spingter cedera, lihat bagian penjahitan robekan derajat III dan IV.
  • Jika spingter tidak cedera, tindak lanjuti dengan penjahitan
PENJAHITAN ROBEKAN PERINEUM DERAJAT III DAN IV
Jahit robekan diruang operasi
  • Tinjau kembali prinsip perawatan umum
  • Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anastesi lokal dengan lignokain. Gunakan blok pedendal, ketamin atau anastesi spinal. Penjahitan dapat dilakukan menggunakn anastesi lokal dengan lignokain dan petidin serta diazepam melalui IV dengan perlahan ( jangan mencampurdengan spuit yang sama ) jika semua tepi robekan dapat dilihat, tetapi hal tersebut jarang terjadi.
  • Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa uterus berkontraksi.
  • Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat.
  • Untuk melihat apakah spingter ani robek.
- Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus
-Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter.
-Periksa permukaan rektum dan perhatikan robekan dengan cermat.
  • Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau yang DTT
  • Oleskan larutan antiseptik kerobekan dan keluarkan materi fekal, jika ada.
  • Pastikan bahwa tidak alergi terhadap lignokain atau obat-obatan terkait.
  • Masukan sekitar 10 ml larutan lignokain 0,5 % kebawah mukosa vagina, kebah kulit perineum dan ke otot perinatal yang dalam.
  • Pada akhir penyuntikan, tunggu selama dua menit kemudian jepit area robekan denagn forcep. Jika ibu dapat merasakan jepitan tsb, tunggu dua menit  algi kemudian lakukan tes ulang.
  • Jahit rektum dengan jahitan putus-putus mengguanakan benang 3-0 atau 4-0 dengan jarak 0,5 cm untuk menyatukan mukosa.
  • Jika spingter robek
-          Pegang setiap ujung sfingter dengan klem Allis ( sfingter akan beretraksi jika robek ). Selubung fasia disekitar sfingter kuat dan tidak robek jika ditarik dengan klem.
-          Jahit sfingter dengan dua atau tiga jahitan putus-putus menggunakan benang 2-0.
  • Oleskan kembali larutan antiseptik kearea yang dijahit.
  • Periksa anus dengan jari yang memakai sarung tangan untuk memastikan penjahitan rektum dan sfingter dilakukan dengan benar. Selanjutnya, ganti sarung tangan yang bersih, steril atau yang DTT.
  • Jahit mukosa vagina, otot perineum dan kulit.
PERBAIKAN RUPTURE UTERUS
  • Tinjau kembali indikasi.
  • Tinjau kembali prinsip prawatan umum, prinsipperawatan operasi dan pasang infus IV.
  • Berikan dosis tunggal antibiotik profilaksis.
-          Ampisilin 2g melalui IV.
-          Atau sefazolin 1g melalui IV.
  • Buka abdomen
-          Buat insisi vertikalgaris tengah dibawah umbilikus sampai kerambut pubis melalui kulit sampai di fasia.
-          Buat insisi vertikal 2-3 cm di fasia.
-          Pegang tepi fasia dengan forcep dan perpanjang insisi keatas dan kebawah dengan menggunakan gunting.
-          Gunakan jari atau gunting untuk memisahkan otot rektus (otot dinding abdomen )
-          Gunakan jari untuk membuka peritoneum dekat umbilikus. Gunakan gunting untuk memperpanjang insisi ke atas dan ke bawah guna melihat seluruh uterus. Gunakan gunting untuk memisahkan lapisan peritoneum dan membuka bagian bawah peritoneum dengan hati-hati guna mencegah cedera kandung kemih.
-          Periksa area rupture pada abdomen dan uterus dan keluarkan bekuan darah.
-          Letakkan retraktor abdomen.
  • Lahirkan bayi dan plasenta.
  • Infuskan oksitoksin 20 unit dalam 1L cairan IV ( salin normal atau laktat ringer ) dengan kecepatan 60 tetes permenit sampai uterus berkontraksi, kemudian kurangi menjadi 20 tetes permenit.
  • Angkat uterus keluar panggul untukmelihat luasnya cedera.
  • Periksa bagian depan dan belakang uterus.
  • Pegang tepi pendarahan uterus denganklem Green Armytage ( forcep cincin )
  • Pisahkan kandungan kemih dari segmen bawah uterus dengan diseksi tumpul atau tajam. Jika kandung kemih memiliki jaringan parut sampai uterus, gunakan gunting runcing.
RUPTURE SAMPAI SERVIKS DAN VAGINA
  • Jika uterus robek sampai serviks dan vagina, mobilisasi kandung kemih minimal 2cm dibawah robekan.
  • Jika memungkinkan, buat jahitan sepanjang 2cm diatas bagian bawah robekan serviks dan pertahankan traksi pada jahitan untuk memperlihatkan bagian-bagian robekan jika perbaikan dilanjutkan.
















TINDAKAN-TINDAKAN PADA KALA III

A.                       Kompresi Bimanual Interna 

KBI adalah tangan kiri penolong dimasukan ke dalam vagina dan sambil membuat kepalan diletakan pada forniks anterior vagina. Tangan kanan diletakan pada perut penderita dengan memegang fundus uteri dengan telapak tangan dan dengan ibu jari di depan serta jari-jari lain di belakang uterus. Sekarang korpus uteri terpegang antara 2 tangan antara lain, yaitu tangan kanan melaksanakan massage pada uterus dan sekalian menekannya terhadap tangan kiri.
Kompresi bimanual interna melelahkan penolong sehingga jika tidak lekas member hasil, perlu diganti dengan perasat yang lain. Perasat Dickinson mudah diselenggarakan pada seorang multipara dengan dinding perut yang sudah lembek. Tangan kanan diletakkan melintang pada bagian-bagian uterus, dengan jari kelingking sedikit di atas simfisis melingkari bagian tersebut sebanyak mungkin, dan mengangkatnya ke atas. Tangan kiri memegang korpus uteri dan sambil melakukan massage menekannya ke bawah ke arah tangan kanan dan ke belakang ke arah promotorium.
Kompresi bimanual interna dilakukan saat terjadi perdarahan. Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml selama 24 jam setelah anak lahir. Termasuk perdarahan karena retensio plasenta. Perdarahan post partum adalah perdarahan dalam kala IV lebih dari 500-600 cc dalam 24 jam setelah anak dan plasenta lahir (Prof. Dr. Rustam Mochtar, MPH, 1998).
Haemoragic Post Partum (HPP) adalah hilangnya darah lebih dari 500 ml dalam 24 jam pertama setelah lahirnya bayi (Williams, 1998)
HPP biasanya kehilangan darah lebih dari 500 ml selama atau setelah kelahiran (Marylin E Dongoes, 2001).
Perdarahan Post partum diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
- Early Postpartum : Terjadi 24 jam pertama setelah bayi lahir
- Late Postpartum : Terjadi lebih dari 24 jam pertama setelah bayi lahir
Tiga hal yang harus diperhatikan dalam menolong persalinan dengan komplikasi perdarahan post partum :
1. Menghentikan perdarahan.
2. Mencegah timbulnya syok.
3. Mengganti darah yang hilang.Frekuensi perdarahan post partum 4/5-15 % dari seluruh persalinan. Berdasarkan penyebabnya :
1. Atoni uteri (50-60%).
2. Retensio plasenta (16-17%).
3. Sisa plasenta (23-24%).
4. Laserasi jalan lahir (4-5%).
5. Kelainan darah (0,5-0,8%).
  1. ETIOLOGI/PENYEBAB
Tindakan kompresi bimanual interna ini akibat adanya perdarahan yang disebabkan karena Penyebab umum perdarahan postpartum adalah:
1. Atonia Uteri
2. Sisa Plasenta dan selaput ketuban
- Pelekatan yang abnormal (plasaenta akreta dan perkreta)
- Tidak ada kelainan perlekatan (plasenta seccenturia)
3.Inversio Uteri
Inversio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri
  1. C. PATOFISIOLOGI
Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk meningkatkan sirkulasi ke sana, atoni uteri dan subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah-pembuluh darah yang melebar tadi tidak menutup sempurna sehingga perdarahan terjadi terus menerus. Trauma jalan lahir seperti epiostomi yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri juga menyebabkan perdarahan karena terbukanya pembuluh darah, penyakit darah pada ibu; misalnya afibrinogemia atau hipofibrinogemia karena tidak ada atau kurangnya fibrin untuk membantu proses pembekuan darah juga merupakan penyebab dari perdarahan postpartum. Perdarahan yang sulit dihentikan bisa mendorong pada keadaan shock hemoragik.
Perbedaan perdarahan pasca persalinan karena atonia uteri dan robekan jalan lahir adalah:
Atonia uteri (sebelum/sesudah plasenta lahir).
1. Kontraksi uterus lembek, lemah, dan membesar (fundus uteri masih tinggi.
2. Perdarahan terjadi beberapa menit setelah anak lahir.
3. Bila kontraksi lemah, setelah masase atau pemberian uterotonika, kontraksi yang lemah tersebut menjadi kuat.
Robekan jalan lahir (robekan jaringan lunak).
1. Kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil.
2. Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir. Perdarahan ini terus-menerus.
Penanganannya, ambil spekulum dan cari robekan.
3. Setelah dilakukan masase atau pemberian uterotonika langsung uterus mengeras tapi perdarahan tidak berkurang.Perdarahan Postpartum akibat Atonia Uteri
Perdarahan postpartum dapat terjadi karena terlepasnya sebagian plasenta dari rahim dan sebagian lagi belum; karena perlukaan pada jalan lahir atau karena atonia uteri. Atoni uteri merupakan sebab terpenting perdarahan postpartum.
Atonia uteri dapat terjadi karena proses persalinan yang lama; pembesaran rahim yang berlebihan pada waktu hamil seperti pada hamil kembar atau janin besar; persalinan yang sering (multiparitas) atau anestesi yang dalam. Atonia uteri juga dapat terjadi bila ada usaha mengeluarkan plasenta dengan memijat dan mendorong rahim ke bawah sementara plasenta belum lepas dari rahim.
Perdarahan yang banyak dalam waktu pendek dapat segera diketahui. Tapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama tanpa disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum tampak pucat dan gejala lainnya. Pada perdarahan karena atonia uteri, rahim membesar dan lembek.Terapi terbaik adalah pencegahan. Anemia pada kehamilan harus diobati karena perdarahan yang normal pun dapat membahayakan seorang ibu yang telah mengalami anemia. Bila sebelumnya pernah mengalami perdarahan postpartum, persalinan berikutnya harus di rumah sakit. Pada persalinan yang lama diupayakan agar jangan sampai terlalu lelah. Rahim jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum plasenta lepas dari dinding rahim.
Pada perdarahan yang timbul setelah janin lahir dilakukan upaya penghentian perdarahan secepat mungkin dan mengangatasi akibat perdarahan. Pada perdarahan yang disebabkan atonia uteri dilakukan massage rahim dan suntikan ergometrin ke dalam pembuluh balik. Bila tidak memberi hasil yang diharapkan dalam waktu singkat, dilakukan kompresi bimanual pada rahim, bila perlu dilakukan tamponade utero vaginal, yaitu dimasukkan tampon kasa kedalam rahim sampai rongga rahim terisi penuh. Pada perdarahan postpartum ada kemungkinann dilakukan pengikatan pembuluh nadi yang mensuplai darah ke rahim atau pengangkatan rahim.
Plasenta sudah terlepas dari dinding rahim namun belum keluar karena atoni uteri atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (akibat kesalahan penanganan kala III) yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata).
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas maka akan terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya.Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh. Oleh karena itu keduanya harus dikosongkan.
Sehingga untuk mengatasi perdarahan tersebut diatas harus dilakukan Kompresi Bimanual Interna.
  1. D. MANIFESTASI KLINIK/TANDA DAN GEJALA
Gejala Klinis umum yang terjadi adalah kehilangan darah dalam jumlah yang banyak (> 500 ml), nadi lemah, pucat, lochea berwarna merah, haus, pusing, gelisah, letih, dan dapat terjadi syok hipovolemik, tekanan darah rendah, ekstremitas dingin, mual.
Gejala Klinis berdasarkan penyebab:
a. Atonia Uteri:
Gejala yang selalu ada: Uterus tidak berkontraksi dan lembek dan perdarahan segera setelah anak lahir (perarahan postpartum primer)
Gejala yang kadang-kadang timbul: Syok (tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual dan lain-lain)
b. Tertinggalnya plasenta (sisa plasenta)
Gejala yang selalu ada : plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah ) tidak lengkap dan perdarahan segera
Gejala yang kadang-kadang timbul: Uterus berkontraksi baik tetapi tinggi fundus tidak berkurang.
c. Inversio uterus
Gejala yang selalu ada: uterus tidak teraba, lumen vagina terisi massa, tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir), perdarahan segera, dan nyeri sedikit atau berat.
Gejala yang kadang-kadang timbul: Syok neurogenik dan pucat
  1. E. TINDAKAN KBI
Kompresi bimanual internal :
  • Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril, dengan lembut memasukan tangan (dengan cara menyatukan kelima ujung jari) ke introitus dan ke dalam vagina ibu.
  • Periksa vagina dan serviks untuk mengetahui ada tidaknya selaput ketuban atau bekuan darah pada kavum uteri yang memungkinkan uterus tidak dapat berkontraksi secara penuh.
  • Letakkan kepalan tangan pada forniks anterior, menekan dinding anterior uterus, sementara telapak tangan lain pada abdomen, menekan dengan kuat dinding belakang uterus ke arah kepalan tangan dalam.
  • Tekan uterus dengan kedua tangan secara kuat. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah di dalam dinding uterus dan juga merangsang miometrium untuk berkontraksi.
  • Evaluasi hasil kompresi bimanual internal:
    • Jika uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang, teruskan melakukan KBI selama 2 menit, kemudian perlahan-lahan keluarkan tangan dari dalam vagina, pantau kondisi ibu secara melekat selama kala IV
    • Jika uterus berkontraksi tetapi perdarahan terus berlangsung, periksa perineum, vagina dan serviks apakah terjadi laserasi di bagian tersebut, segera lakukan penjahitan bila ditemukan laserasi.
    • kontraksi uterus tidak terjadi dalam 5 menit, ajarkan pada keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksternal, kemudian teruskan dengan langkah-langkah penatalaksanaan atonia uteri selanjutnya. Minta keluarga untuk mulai menyiapkan rujukan

B.        Kompresi Bimanual Eksterna
Pengertian Kompresi Bimanual
  1. kompresi bimanual eksterna
kompresi bimanual eksterna merupakan tindakan yang efektif untuk mengendalikan perdarahan misalnya akibat atonia uteri. Kompresi bimanual ini diteruskan sampai uterus dipastikan berkontraksi dan perdarahan dapat dihentikan.ini dapat di uji dengan melepaskan sesaat tekanan pada uterus dan kemudian mengevaluasi konsistensi uterus dan jumlah perdarahan. Penolong dapat menganjurkan pada keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksterna sambil penolong melakukan tahapan selanjutnya untuk penatalaksanaan atonia uteri.
Dalam melakukan kompresi bimanual eksterna ini, waktu sangat penting, demikian juga kebersihan. sedapat mungkin ,gantillah sarung tangan atau cucilah tangan sebelum memulai tindakan ini.
  1. Peralatan
-          Sarung tangan steril
-          Cairan infuse
-          Peralatan infuse
-          Jarum infuse
-          Plester
-          Kateter urin
  1. Prosuder kompresi bimanual eksterna
  1. Bila mungkin mintalah bantuan seseorang
  2. Cobalah massage ringan agar uterus berkontraksi
  3. Periksa apakah kandung kencing penuh.jika kandung kencing penuh,mintalah ibu untuk buang air kecil.bila tidak berhasil,pasanglah kateter
  4. Jika perdarahan tidak berhenti, lakukan kompresi bimanual eksterna.
Ada beberapa  cara dalam melakukan kompresi bimanual eksterna yaitu:
  1. Cara I
-          Tangan kiri menggenggam rahimdari luar dan dasar rahim,
-          Tangan kanan menggenggam rahim bagian bawah,
-          Kemudian keduatangan menarik rahim keluar dari rongga panggul, sedangkan tangan kanan memeras bagian bawah rahim.
  1. Cara II
-          Letakansatu tangan pada dinding perut dan usahakan sedapat mungkin bagian belakang uterus,
-          Letakan tangan dan lain dalam keadaan terkepal pada bagian depan kurpus uteri,
-          Kemudian rapatkan kedua tangan untuk menekan pembuluh darah ke dinding uterus dengan jalan menjepit uterus diantara kedua tangan tersebut.
  1. Berikan 10 unit oksitoksin (syntocinon) secara IM atau  melalui infuse jika mungkin, kemudian berikan ergometrin 0,2 mg (methergin) IM, kecuali jika ibu menderita hipertensi berat. Dapat juga diberikan 0,5 mg syntometrin IM jika ibu tidak menderita hipertensi. Jika perdarahan berkurang atau berhenti mintalah ibu menyusui bayi.
  2. Jika hal ini tidak berhasil menghentikan perdarahan dan uterus tetap tidak berkontraksi walaupun telah di rangsang dengan mengusap-usap perut pasanglah infuse.

KOMPRESI AORTA DAN MANUAL PLASENTA

*      Kompresi Aorta Abdominal
Peralatan yang di perlukan untuk dapat melakukan kompresi aorta abdominalis tidak ada, kecuali sedapat mungkin teknik yang benar, sehingga aorta benar-benar tertutup untuk sementara waktu sehingga perdarahan karena otonia uteri dapat di kurangi.
Tata cara komperesi aorta abdominalis:
1.       Tekanlah aorta abdominalis diatas uterus dengan kuat dan dapat dibantu dengan tangan kiri selama 5 s/d 7 menit.
2.       Lepaskan tekanan sekitar 30 sampai 60 detik sehingga bagian lainnya tidak terlalu banyak kekurangan darah.
3.       tekanan aorta abdominalis untuk mengurangi perdarahan bersifat sementara sehingga tersedia waktu untuk memasang infus dan memberikan uterotonika secara intravena.
  1. TEKHNIK PENEKANAN AORTA
  • Berikan tekanan kebawah dengan tekanan tangan diletakan diatas pers abdominalis aorta melalui dinding abdomen
  • Titik kompresi tepat diatas umbilikus dan agak kekiri
  • Denyut aorta dapat diraba dengan mudah melalui dinding abdomen anterior segera pada periode pascapartum
  • Dengan tangan yang lain palpasi denyut nadi femoral untuk memeriksa keadekuatan kompresi
  • Jika denyut nadi teraba selama kompresi tekanan yang dikeluarkan kepalan tangan tidak adekuat
  • Jika denyut nadi femoral tidak teraba tekanan yang dikeluarakan kepalan tangan adekuat
  • Pertahanan kompresi sampai darah terkontrol
  • Jika pendarahan berlanjut walaupun kompresi telah dilakukan
  • Lakukan ligasi uteria dan ligasi ateri uteri
  • Bila tidak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir
Ligasi arteria uterine dan arteri uteroovarium:
  • Tinjau kembali Indikasi
  • Tinjau kembali prinsip perawatan umum,prinsip perawatan operasi dan pasang infuse IV
  • Berikan dosis tunggal antibiotik profilaksis
  • Buka abdomen
  • Tarik uterus untukmembuka bagian bawah ligamentum latum uteri
  • Raba denyut arteria uterina di dekat persambungan uterus dan servik
  • Dengan menggunakan benang catgut kromik 0 pada jarum besar,masukkan jarum kesekeliling
arteri dan melalui 2-3 cm miometrium pada tempat dibuatnya insisi melintang segmen bawah
uterus lalu ikat benang dengan kuat
  • Buat jahitan sedekat mungkin dengan uterus karena biasanya ureter berada hanya 1 cm
disamping ateria uterina
  • Ulangi posisi tersebut pada sisi sebelahnya
  • Jika arteri robek,pasang klem dan ikat tempat perdarahan
  • Ikat arteri uteroovarium tepat dibawah titik pertemuan ligamentum suspensorium ovarii dengan
uterus
  • Ulangi prosedur tersebut pada sisi sebelahnya
  • Pantau adanya perdarahan berkelanjutan atau pembentukan hematoma
  • Tutup abdomen
Histerektomi:
  • Tinjau kembali Indikasi
  • Tinjau kembali prinsip perawatan umum,prinsip perawatan operasi dan pasang infus IV
  • Berikan dosis tunggal antibiotik profilaksis
  • Jika terdapat hemoragi yang tidak dapat terkontrol etelah pelahiran per vagina, pikirkan bahwa kecepatan tindakan adalah hal yang sangat penting.
  • Jika pelahiran dilakukan melalui seksio sesaria, pasang klem pada area perdarahan di sepanjang insisi uterus

*      Manual Plasenta

  1. Pengertian
Manual plasenta adalah prosedur pelepasan plasenta dari tempat implantasinya pada dinding uterus dan mengeluarkannya dari kavum uteri secara manual yaitu dengan melakukan tindakan invasi dan manipulasi tangan penolong persalinan yang dimasukkan langsung kedalam kavum uteri. Pada umumnya ditunggu sampai 30 menit dalam lahirnya plasenta secara spontan atau dgn tekanan ringan pada fundus uteri yang berkontraksi. Bila setelah 30 mnenit plasenta belum lepas sehingga belum dapat dilahirkan atau jika dalam waktu menunggu terjadi perdarahan yang banyak, pasenta sebaiknya dikeluarkan dengan segera.
Manual plasenta merupakan tindakan operasi kebidanan untuk  melahirkan retensio plasenta. Teknik operasi plasenta manual tidaklah sukar, tetapi harus diperkirakan bagaimana persiapkan agar tindakan tersebut dapat menyelamatkan jiwa penderita.
  1. Etiologi
Indikasi pelepasan plasenta secara manual adalah pada keadaan perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc yang tidak dapat dihentikan dengan uterotonika dan masase, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir dan tali pusat putus.
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Hampir sebagian besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan oeh gangguan kontraksi uterus.
Manual plasenta dilakukan karena indikasi retensio plasenta yang berkaitan dengan :
  1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus dikarenakan:
a)      Plasenta adhesive yaitu kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta
b)      Plasenta akreta yaitu implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium
c)      Plasenta inkreta, yaitu implantasi jonjot korion placenta hingga mencapai/memasuki miometrium
d)     Plasenta perkreta, yaitu implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e)      Plasenta inkarserata, yaitu tertahannya plasenta didalam kavum uteri yang disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.
  1. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan dan dapat terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya
  2. Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan.
  3. Retensio plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan
  • Darah penderita terlalu banyak hilang,
  • Keseimbangan baru berbentuk bekuan darah, sehingga perdarahan tidak terjadi,
  • Kemungkinan implantasi plasenta terlalu dalam.
  1. Patofisiologi
Manual plasenta dapat segera dilakukan apabila :
  • Terdapat riwayat perdarahan postpartum berulang.
  • Terjadi perdarahan postpartum melebihi 400 cc
  • Pada pertolongan persalinan dengan narkosa.
  • Plasenta belum lahir setelah menunggu selama setengah jam.
Manual plasenta dalam keadaan darurat dengan indikasi perdarahan di atas 400 cc dan teriadi retensio plasenta (setelah menunggu ½ jam). Seandainya masih terdapat kesempatan penderita retensio plasenta dapat dikirim ke puskesmas atau rumah sakit sehingga mendapat pertolongan yang adekuat.
Dalam melakukan rujukan penderita dilakukan persiapan dengan memasang infuse dan memberikan cairan dan dalam persalinan diikuti oleh tenaga yang dapat memberikan pertolongan darurat.
  1. Tanda dan Gejala Manual Plasenta
    1. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
    2. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.
    3. Perdarahan yang lama > 400 cc setelah bayi lahir.
    4. Placenta tidak segera lahir > 30 menit.
E. Teknik Manual Plasenta
Untuk mengeluarkan plasenta yang belum lepas jika masih ada waktu dapat mencoba teknik menurut Crede yaitu uterus dimasase perlahan sehingga berkontraksi baik, dan dengan meletakkan 4 jari dibelakang uterus dan ibu jari didepannya, uterus dipencet di antara jari-jari tersebut dengan maksud untuk melepaskan plasenta dari dinding uterus dan menekannya keluar. Tindakan ini tidaklah selalu berhasil dan tidak boleh dilakukan secara kasar.
Sebelum mengerjakan manual plasenta, penderita disiapkan pada posisi litotomi. Keadaan umum penderita diperbaiki sebesar mungkin, atau diinfus NaCl atau Ringer Laktat. Anestesi diperlukan kalau ada constriction ring dengan memberikan suntikan diazepam 10 mg intramuskular. Anestesi ini berguna untuk mengatasi rasa nyeri. Operator berdiri atau duduk dihadapan vulva dengan salah satu tangannya (tangan kiri) meregang tali pusat, tangan yang lain (tangan kanan) dengan jari-jari dikuncupkan membentuk kerucut.

Gambar 1. Meregang tali pusat dengan jari-jari membentuk kerucut


http://www.bidankita.com/images/stories/manual%20plasenta%20a.jpg
 










Dengan ujung jari menelusuri tali pusat sampai plasenta. Jika pada waktu melewati serviks dijumpai tahanan dari lingkaran kekejangan (constrition ring), ini dapat diatasi dengan mengembangkan secara perlahan-lahan jari tangan yang membentuk kerucut tadi. Sementara itu, tangan kiri diletakkan di atas fundus uteri dari luar dinding perut ibu sambil menahan atau mendorong fundus itu ke bawah. Setelah tangan yang di dalam sampai ke plasenta, telusurilah permukaan fetalnya ke arah pinggir plasenta. Pada perdarahan kala tiga, biasanya telah ada bagian pinggir plasenta yang terlepas.
http://www.bidankita.com/images/stories/manual%20plasenta%20b.jpgGambar 2. Ujung jari menelusuri tali pusat, tangan kiri diletakkan di atas fundus







Melalui celah tersebut, selipkan bagian ulnar dari tangan yang berada di dalam antara dinding uterus dengan bagian plasenta yang telah terlepas itu. Dengan gerakan tangan seperti mengikis air, plasenta dapat dilepaskan seluruhnya (kalau mungkin), sementara tangan yang di luar tetap menahan fundus uteri supaya jangan ikut terdorong ke atas. Dengan demikian, kejadian robekan uterus (perforasi) dapat dihindarkan.
Gambar 3. Mengeluarkan plasenta
http://www.bidankita.com/images/stories/manual%20plasenta%20c.jpg 













Setelah plasenta berhasil dikeluarkan, lakukan eksplorasi untuk mengetahui kalau ada bagian dinding uterus yang sobek atau bagian plasenta yang tersisa. Pada waktu ekplorasi sebaiknya sarung tangan diganti yang baru. Setelah plasenta keluar, gunakan kedua tangan untuk memeriksanya, segera berikan uterotonik (oksitosin) satu ampul intramuskular, dan lakukan masase uterus. Lakukan inspeksi dengan spekulum untuk mengetahui ada tidaknya laserasi pada vagina atau serviks dan apabila ditemukan segera di jahit.
Jika setelah plasenta dikeluarkan masih terjadi perdarahan karena atonia uteri maka dilakukan kompresi bimanual sambil mengambil tindakan lain untuk menghetikan perdarahan dan memperbaiki keadaan ibu bila perlu.
Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi sekunder.
  1. Komplikasi
Kompikasi dalam pengeluaran plasenta secara manual selain infeksi / komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan, multiple organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan penurunan perfusi organ dan sepsis, ialah apabila ditemukan plasenta akreta. Dalam hal ini villi korialis menembus desidua dan memasuki miometrium dan tergantung dari dalamnya tembusan itu dibedakan antara plasenta inakreta dan plasenta perkreta. Plasenta dalam hal ini tidak mudah untuk dilepaskan melainkan sepotong demi sepotong dan disertai dengan perdarahan. Jika disadari adanya plasenta akreta sebaiknya usaha untuk mengeluarkan plasenta dengan tangan dihentikan dan segera dilakukan histerektomi dan mengangkat pula sisa-sisa dalam uterus.
  1. PROSEDUR KLINIK MANUAL PLASENTA
  2. Persetujuan Tindakan Medik
Informed consent merupakan perstujuan dari pasien dan keluarga terhadap tindakan medic yang akan dilakukan terhadap dirinya oleh dokter/bidan. Persetujuan diberikan setelah pasien diberikan penjelasan yang lengkap dan objektif tentang diagnosis penyakit, upaya penyembuhan, tujuan dan pilihan tindakan yang akan dilakukan.
  1. Persiapan Sebelum Tindakan
    1. Pasien
      1. Cairan dan selang infuse sudah terpasang. Perut bawah dan lipat paha sudah dibersihkan.
      2. Uji fungsi dan kelengkapan peralatan resusitasi
      3. Siapkan kain alas bokong, sarrung kaki dan penutup perut bawah
      4. Medikamentosa
        1. Analgetika (Phetidin 1-2 mg/kg BB, Ketamin Hcl 0,5 mg/kg BBT, Tramadol 1-2 mg/kg BB)
        2. Sedative (Diazepam 10 mg)
        3. Atropine Sulfas 0,25-0,55 mg/ml
        4. Uteretonika (Oksitosin,Ergometrin, Prostaglandin)
        5. Cairan NaCl 0,9% dan RL
        6. Infuse Set
        7. Larutan Antiseptik (Povidon Iodin 10%)
        8. Oksigen dengan regulator
  1. Penolong
    1. Baju kamar tindakan, pelapis plastic, masker dan kaca mata : 3 set
    2. Sarung tangan DTT/steril : sebaiknya sarung tangan panjang
    3. Alas kaki (sepatu boot karet) : 3 pasang
    4. Instrument
1)      Kocher: 2, Spuit 5 ml dan jarum suntik no 23G
2)      Mangkok tempat plasenta : 1
3)      Kateter karet dan urine bag : 1
http://www.bidankita.com/images/stories/manual%20plasenta%20c.jpg4)      Benang kromk 2/0 : 1 rol
5)      Partus set
  1. Pencegahan Infeksi Sebelum Tindakan
Sebelum melakukan tindakan sebaiknya mencuci tangan terlebih dahulu dengan sabun dan air yang mengalir untuk mencegah infeksi. Mengeringkan tangan dengan handuk bersih lalu pasang sarung tangan DTT/steril.
  1. Tindakan Penetrasi Ke Kavum Uteri
    1. Intruksikan asisten untuk memberikan sedatif dan analgetik melalui karet infuse.
    2. Lakukan kateterisasi kandung kemih.
  • Pastikan kateter masuk kedalam kandung kemih dengan benar.
  • Cabut kateter setelah kandung kemih dikosongkan.
  1. Jepit tali pusat dengan kocher kemudian tegakan tali pusat sejajar lantai.
  2. Secara obstetric maukkan satu tangan (punggung tangan ke bawah) kedalam vagina dengan menelusuri tali pusat bagian bawah.
  3. Setelah tangan mencapai pembukaan serviks, minta asisten untuk memegang kocher kemudian tangan lain penolong menahan fundus uteri.
  4. Sambil menahan fundus uteri, masukan tangan ke dalam kavum uteri sehingga mencapai tempat implantasi plasenta.
  5. Buka tangan obstetric menjadi seperti memberi salam (ibu jari merapat ke pangkal jari telunjuk).
  6. Melepas Plasenta dari Dindig Uterus
    1. Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah
  • Bila berada di belakang, tali pusat tetap di sebelah atas. Bila dibagian depan, pindahkan tangan ke bagian depan tal pusat dengan punggung tangan menghadap ke atas.
  • Bila plasenta di bagian belakang, lepaskan plasenta dari tempat implantasinya dengan jalan menyelipkan ujung jari di antara plasenta dan dinding uterus, dengan punggung tangan mengahadap ke dinding dalam uterus.
  • Bila plasenta di bagian depan, lakukan hal yang sama (dinding tangan pada dinding kavun uteri) tetapi tali pusat berada di bawah telapak tangan kanan.
  1. Kemudian gerakan tangan kanan ke kiri dan kanan sambil bergeser ke cranial sehingga semua permukaan maternal plasenta dapat dilepaskan.
Catatan : Sambil melakukan tindakan, perhatikan keadaan ibu (pasien), lakukan   penanganan yang sesuai bila terjadi penyuliit.
  1. Mengeluarkan Plasenta
    1. Sementara satu tangan masih berada di kavum uteri, lakukan eksplorasi ulangan untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat pada dinding uterus.
    2. Pindahkan tangan luar ke supra simfisis untuk menahan uterus pada saat plasenta dikeluarkan.
    3. Instruksikan asisten yang memegang kocher untuk menarik tali pusat sambil tangan dalam menarik plasenta ke luar (hindari percikan darah).
    4. Letakan plasenta ke dalam tempat yang telah disediakan.
    5. Lakukan sedikit pendorongan uterus (dengan tangan luar) ke dorsokranial setelah plasenta lahir.
v  Perhatikan kontraksi uterus dan jumlah perdarahan yang keluar
  1. Dekontaminasi Pasca Tindakan
Alat-alat yang digunakan untuk menolong di dekontaminasi, termasuk sarung tangan yang telah di guanakan penolong ke dalam larutan antiseptic
  1. Cuci Tangan Pascatindakan
Mencuci kedua tangan setelah tindakan untuk mencegah infeksi.
  1. Perawatan Pascatindakan
    1. Periksa kembali tanda vital pasien, segera lakukan tindakan dan instruksi apabila masih diperlukan.
    2. Catat kondisi pasien dan buat laporan tindakan d dalam kolom yang tersedia.
    3. Buat instruksi pengobatan lanjutan dan hal-hal penting untuk dipantau.
    4. Beritahukan pada pasien dan keluarganya bahwa tindakan telah seesai tetapi pasien masih memerlukan perawatan.
    5. Jelaskan pada petugas tentang perawatan apa yang masih diperlukan, lama perawatan dan apa yang perlu dilaporkan.(Di Rumah Sakit)












 

















Kkkk




















Fisiologis Kala IV
Pemantauan Kala IV
Saat yang paling kritis pada ibu pasca melahirkan adalah pada masa post partum. Pemantauan ini dilakukan untuk mencegah adanya kematian ibu akibat perdarahan. Kematian ibu pasca persalinan biasanya tejadi dalam 6 jam post partum. Hal ini disebabkan oleh infeksi, perdarahan dan eklampsia post partum. Selama kala IV, pemantauan dilakukan 15 menit pertama setelah plasenta lahir dan 30 menit kedua setelah persalinan. Setelah plasenta lahir, berikan asuhan yang berupa :
  1. Rangsangan taktil (massase) uterus untuk merangsang kontraksi uterus.
  2. Evaluasi tinggi fundus uteri – Caranya : letakkan jari tangan Anda secara melintang antara pusat dan fundus uteri. Fundus uteri harus sejajar dengan pusat atau dibawah pusat.
  3. Perkirakan darah yang hilang secara keseluruhan.
  4. Pemeriksaan perineum dari perdarahan aktif (apakah dari laserasi atau luka episiotomi).
  5. Evaluasi kondisi umum ibu dan bayi.
  6. Pendokumentasian.
Penilaian Klinik Kala IV
No
Penilaian

1
Fundus dan kontraksi uterus
Rangsangan taktil uterus dilakukan untuk merangsang terjadinya kontraksi uterus yang baik. Dalam hal ini sangat penting diperhatikan tingginya fundus uteri dan kontraksi uterus.
2
Pengeluaran pervaginam
Pendarahan: Untuk mengetahui apakah jumlah pendarahan yang terjadi normal atau tidak. Batas normal pendarahan adalah 100-300 ml.
Lokhea: Jika kontraksi uterus kuat, maka lokea tidak lebih dari saat haid
3
Plasenta dan selaput ketuban
Periksa kelengkapannya untuk memastikan ada tidaknya bagian yang tersisa dalam uterus.
4
Kandung kencing
Yakinkan bahwa kandung kencing kosong. Hal ini untuk membantu involusio uteri
5
Perineum
Periksa ada tidaknya luka / robekan pada perineum dan vagina.
6
Kondisi ibu
Periksa vital sign, asupan makan dan minum.
7
Kondisi bayi baru lahir
Apakah bernafas dengan baik?
Apakah bayi merasa hangat?
Bagaimana pemberian ASI?

Diagnosis
No
Kategori
Keterangan
1
Involusi normal
Tonus – uterus tetap berkontraksi.
Posisi – TFU sejajar atau dibawah pusat.
Perdarahan – dalam batas normal (100-300ml).
Cairan – tidak berbau.
2
Kala IV dengan penyulit
Sub involusi – kontraksi uterus lemah, TFU diatas pusat.
Perdarahan – atonia, laserasi, sisa plasenta / selaput ketuban.

Bentuk Tindakan Dalam Kala IV
Tindakan Baik: 1) Mengikat tali pusat; 2) Memeriksa tinggi fundus uteri; 3) Menganjurkan ibu untuk cukup nutrisi dan hidrasi; 4) Membersihkan ibu dari kotoran; 5) Memberikan cukup istirahat; 6) Menyusui segera; 7) Membantu ibu ke kamar mandi; 8 ) Mengajari ibu dan keluarga tentang pemeriksaan fundus dan tanda bahaya baik bagi ibu maupun bayi.
Tindakan Yang Tidak Bermanfaat: 1) Tampon vagina – menyebabkan sumber infeksi. 2) Pemakaian gurita – menyulitkan memeriksa kontraksi. 3) Memisahkan ibu dan bayi. 4) Menduduki sesuatu yang panas – menyebabkan vasodilatasi, menurunkan tekanan darah, menambah perdarahan dan menyebabkan dehidrasi.
Pemantauan Lanjut Kala IV
Hal yang harus diperhatikan dalam pemantauan lanjut selama kala IV adalah :
  1. Vital sign – Tekanan darah normal < 140/90 mmHg; Bila TD < 90/ 60 mmHg, N > 100 x/ menit (terjadi masalah); Masalah yang timbul kemungkinan adalah demam atau perdarahan.
  2. Suhu – S > 380 C (identifikasi masalah); Kemungkinan terjadi dehidrasi ataupun infeksi.
  3. Nadi
  4. Pernafasan
  5. Tonus uterus dan tinggi fundus uteri – Kontraksi tidak baik maka uterus teraba lembek; TFU normal, sejajar dengan pusat atau dibawah pusat; Uterus lembek (lakukan massase uterus, bila perlu berikan injeksi oksitosin atau methergin).
  6. Perdarahan – Perdarahan normal selama 6 jam pertama yaitu satu pembalut atau seperti darah haid yang banyak. Jika lebih dari normal identifikasi penyebab (dari jalan lahir, kontraksi atau kandung kencing).
  7. Kandung kencing – Bila kandung kencing penuh, uterus berkontraksi tidak baik.
Tanda Bahaya Kala IV
Selama kala IV, bidan harus memberitahu ibu dan keluarga tentang tanda bahaya :
  1. Demam.
  2. Perdarahan aktif.
  3. Bekuan darah banyak.
  4. Bau busuk dari vagina.
  5. Pusing.
  6. Lemas luar biasa.
  7. Kesulitan dalam menyusui.
  8. Nyeri panggul atau abdomen yang lebih dari kram uterus biasa.




SOAL KASUS ASUHAN KEBIDANAN II
KASUS Ià OK
Ny. M P5 A0 umur 35 tahun melahirkan bayi laki-laki dengan berat badan 3600 gram, plasenta lahir spontan , perdarahan 550cc,kontraksi uterus lembek.

1.    Berdasarkan kasus tersebut diatas, perdarahan yang dialami Ny. M disebabkan oleh :
A.    Atonia Uteri
B.    Ruptura Uteri
C.   Laserasi serviks
D.   Laserasi Perineum
E.    Retensio Sisa Plasenta

2.    Tindakan yang harus segera dilakukan bidan selanjutnya adalah :
A.    Berikan Infus
B.    Lakukan Rujukan
C.   Berikan Ergometrin 0,2 IM
D.   Lakukan Kompresi  Bimanual Internal
E.    Lakukan Kompresi Bimanual Eksterna

3.    Setelah dievaluasi tindakan pertama bidan, uterus mulai berkontraksi, berapa lamakah waktu yang dibutuhkan untuk mempertahankan tindakan tersebut?
A.    2 menit
B.    3 menit
C.   4 menit
D.   5 menit
E.    6 menit

4.    Apabila setelah dilakukan evaluasi , uterus tidak berkontraksi, maka urutan tindakan selanjutnya adalah:
A.    Anjurkan keluarga untuk membantu melakukan KBE
B.    Berikan ergometrin 0,2 mg IM
C.   Berikan misoprotol 600-1000 mcg per rectal
D.   Pasang infus RL + 20 unit oksitosin
E.    Ulangi KBI


Kasus :
Ny. A umur 38 tahun, melahirkan anak ke 3, bayi lahir 30 menit yang lalu, jenis kelamin laki – laki, sehat , BBL 3000 gram, plasenta belum lahir.

5.        Sesuai data diatas, Ny. A mengalami….
A.  Plasenta restan
B.  Plasenta previa
C.  Solusio plasenta
D.  Retensio plasenta
E.   Vasa previa

6.        Seharusnya Ny.A sudah mendapatkan injeksi oksitoksin sebanyak…
A.    1 x 10 IU
B.     2 x 10 IU
C.    3 x 10 IU
D.    4 x 10 IU
E.     5 x 10 IU

7.        Tindakan yang harus dilakukan bidan terhadap Ny. A adalah …
A.    pasang infuse
B.     manual plasenta
C.     pasang transfuse
D.    injeksi oksitoksin
E.     beri oksigen

8.      Penyebab terjadinya masalah Ny. A adalah …
A.       Faktor umur
B.       faktor paritas
C.       faktor riwayat persalinan lalu
D.       faktor riwayat penyakit yang lalu
E.        faktor ekonomi

9.      Apabila muncul perdarahan pada Ny.A, maka penanganan segera yang harus dilakukan dalam mengatasi perdarahan tersebut adalah …
A.       Segera masase uterus
B.       segera dilakukan KBI
C.       Segera dilakukan KBE
D.       Segera pasang infus RL
E.        Segera suntik metergin




Kasus :
Ny. B, umur 40 tahun, melahirkan anak ke 4, plasenta telah lahir lengkap. KU ibu lemah, pusing, TD 90/60 mmHg, Suhu 380 C, nadi 112x/menit, respirasi 32 x/menit, kontraksi uterus lemah, perdarahan 600 ml.

10        Sesuai data diatas, Ny. B mengalami….
A.  Atonia uteri
B.  Ruptura uteri
C.  Involusio uteri
D.  Inversio uteri
E.   Plasenta previa

11.      Untuk penanganan segera yang harus dilakukan dalam mengatasi perdarahan Ny. B adalah….
a.      KBI
b.      KBE
c.       Histerektomi
d.      Tampon uterus
e.       Pemberian prostaglandin

12.      Untuk penanganan kasus Ny.B apabila dilakukan selama 5 menit berhasil, maka penangan masih perlu dilakukan selama…
A.       1 menit
B.       2 menit
C.       3 menit
D.       4 menit
E.        5 menit

13.      Apabila tindakan awal  belum berhasil, maka tindakan selanjutnya untuk Ny.B adalah
A.       KBI
B.       KBE
C.       Histerektomi
D.       Tampon uterus
E.        Pemberian prostaglandin

14Untuk membantu meningkatkan kontraksi uterus, sebaiknya bidan menganjurkan Ny. B untuk …
A.       Menyusui
B.       Mobilisasi
C.       Bed rest total
D.       Makan/ minum
E.        Eliminasi






Tidak ada komentar:

Posting Komentar